Sunday, November 25, 2012

Cerpen : Harapan akan Cinta


Apa aku salah kalau terlalu berharap bahwa suatu saat Tuhan kan memberiku pangeran??? Must I wait too a long time?? Or look for you cause I really do need your love....? My God,, saving me!!

”Echa....!!” Chika masuk kamarku tiba-tiba dan mengagetkanku sehingga aku dengan segera menyembunyikan buku diary yang ada di pangkuanku.
            ”Ketok pintu dulu napa neng?” Sergahku dengan nada agak tinggi.
”Ngaget-ngagetin gue tau ga..”
            ”Iya iya,, sorry deh jeng.. Abisnya gue punya berita seru.”
            ”Berita apaan?” Ujarku masih sungkan dengan Chika. ” Palingan si Fariz lagi kan ?”
            ”Bukan tau. Ini bukan tentang gue. Makanya jangan emosi dulu.. Sorry deh yang tadi. It’s all ’bout you. Ini menyangkut jiwa lo Cha....” Kilah Chika meyakinkanku.
            ”Apaan ?” Tanyaku sambil menatap mata Chika.
            ”Jordan suka lo.” Ujar Chika.
            ”Hah???” Aku terpaku akan ucapan Chika.
            Jordan, Ya, dia dengan senyum misteriusnya saat mencetak angka kemenangan di tim basket sekolah. Dia dengan perawakan yang tegap dan atletis karena dia Juara I Karate tingkat Nasional dan dia yang selalu bisa memukau para gadis dengan gayanya yang katanya sih cool menyukaiku?? Seorang cewek yang tidak terlalu aktif dengan kegiatan ekskul, yang lebih suka berkutat pada buku dan laptop. Cewek yang pamornya jelas-jelas di bawah Jordan.
            Aku, Ezha Ayyusya Pradipta biasa dipanggil Echa. Anak kedua dari seorang ayah yang bernama Herlambang Robby Pradipta dan Ibu yang bernama Nensya Vina. Mempunyai seorang kakak yang tampan bernama Vega Adhy August Pradipta dan banyak digandrungi cewek-cewek di kampusnya. Aku merasa sangat bahagia mempunyai keluarga seperti ini, ditambah lagi ketiga teman dekatku. Clara, Chika, dan Sessy.
            Aku tak sedikitpun senang mendengar kabar dari Chika bahwa Jordan meyukaiku. Mungkin banyak yang akan bilang kalau aku itu aneh jika mengetahui bahwa aku tidak menaruh simpati pada Jordan. Disukai cowok setingkat Jordan tetapi aku biasa-biasa saja. Karena aku menyimpan alasan untuk tetap mempertahankan pendirianku.
            Bahwa aku memendam rasa untuk orang lain. Aku tekankan sekali lagi. Aku memendam rasa untuk orang lain.
**


            Di sekolah, cewek-cewek lain mulai menatapku tajam. Mulai dari teman seangkatan sampai adik-adik kelas pun melihatku tiap aku berjalan di lorong sekolah. Mereka begitu penasaran ingin melihat sosokku dengan cermat. Sosok cewek yang disukai Jordan, pentolan cowok keren di sekolah. Kabar Jordan menyukaiku telah tersebar bahkan guru-guru pun tau.
            ”Ezha,, kamu pacaran sama Jordan?” Tanya Ibu Kemala lembut pada saat istirahat, guru Fisika satu ini terkenal gaul soalnya selalu mengerti apa saja yang terjadi dengan anak didiknya.
            ”Tidak Ibu....” Aku menggeleng meyakinkan. ” Saya permisi dulu Ibu..” Aku berlalu dari hadapan Ibu Kemala.
            Tak tau kenapa aku tidak respect dengan pernyataan ’Jordan menyukaimu’ yang sering dikatakan teman-temanku.
**


            Siang ini aku makan di kantin. Biasanya aku kurang suka masakan kantin. Bukan karena tidak higienis. Bukan. Makanan kantin pasti terjamin kebersihannya. Tetapi aku lebih suka masakan mama. Biarpun mama sibuk dengan profesinya sebagai dokter gigi, mama tetap berusaha membuatkan masakan terbaiknya untukku dan kakakku.
Di kantin, aku tidak sendiri tetapi bersama ketiga temanku. Chika, Clara, dan Sessy.
”Cha, boleh aku bicara sama kamu?” Sapa Jordan dari balik punggungku.
            Aku menoleh ke arah suara itu..”Oh, lo mau ngomong apa? Tapi maaf sekarang gue ga ada waktu...” Jawabku, Aku mulai agak sedikit risih mendengar Jordan berkamu-aku denganku.
            ”Ga sekarang juga ga apa kok Cha, gue tunggu sampe lo punya waktu. Nanti malam gue connect lo deh Cha.” Sekarang dia kembali berlo-gue. Tetapi senyum dan tatapannya membuat aku cukup bersimpati. Aku tak pernah melihat tatapan Jordan selembut ini.
            “Ccciiieeeeeeeeeeeee…..........” Ketiga temanku serempak meledek.
            “Apaan sih?”
            Seisi kantin ternyata memperhatikanku sejak kedatangan Jordan sampai dia menghilang dari kantin pun semua tetap melihat ke arahku.
            “Lo sih berisik.. Pada merhatiin gue kan? Malu tau..” Aku agak berbisik kepada ketiga temanku.
**

            Malam ini aku kembali membuka diaryku. Menuliskan curahan isi hatiku.
            
Diary, apa aku salah kalau aku tidak menyukai Jordan sama sekali. Dulu aku berharap Tuhan memberiku pangeran, tapi itu bukan Jordan... Bukan Jordan yang kuharapkan... Melainkan...
Dio...

            Dio, lengkapnya Tren Dio Vaza. Sahabat kakakku. Dio anak dari teman papa. Anak tunggal dari Om Tren Andriano dan Tante Nindi Listya ini tumbuh sebagai sosok cowok yang tidak banyak berbicara. Namun, setelah aku mengenal sosoknya aku tau bahwa dia tak seangkuh itu. Senyumnya yang selalu memberi ketenangan batin membuatku yakin bahwa aku telah jatuh hati padanya. Apalagi jika kulayangkan pada memori masa lalu. Dia adalah cowok yang membebaskanku dari siulan nakal anak jalanan, mendekapku hangat saat aku ketakutan dan menangis karena digoda segerombolan anak jalanan. Membuatku melihat wajah khawatirnya padaku.
Sejak saat itu, Dio bagai malaikat di hidupku. Dia bagai simphony yang mengalun merdu mengisi hari-hariku. Melihatnya tertawa lepas membuat hatiku tenang. Aku ingin merasakan dekapannya lagi.
            Dio............. Sosok yang selalu aku dambakan untuk menjadi seseorang yang akan bersamaku dan menjagaku.
**

            ”Cha. Jadi, Lo nolak Jordan??” Sessy kaget setengah mati.
            Aku mengangguk membenarkan. ”Apa aku salah?” tanyaku lirih. ”Aku tak sedikitpun mencintainya, apa aku salah ga mau nerima cinta Jordan?” aku tak bisa menyembunyikan rasa takutku.
            ”Cha, lo ga salah kok...” Chika bersuara. Sedang Clara merangkulku erat, mencoba menenangkanku. Tak terasa air mataku menetes.
            Ketakutanku bukannya tak beralasan, sebelum teman-temanku kuceritakan bahwa tadi malam Jordan menyatakan perasaannya padaku dan aku menolaknya. Pagi ini, Gladis datang ke kelasku. Gladis, pemimpin kelompok Cheers di sekolahku mendatangiku saat melihat aku memasuki kelasku. XII Ipa 6. Dia marah-marah padaku.
            ”Lo ga tau diri ya Cha!!” Gladis menarik rambutku.
            ”Aw!!”
            ”Udah tau Jordan sayang ma lo, tapi lo..... Lo tu ga tau diri ya!! Gue yang suka ma Jordan sedih ngeliat Jordan, gue sakit... Sakit!!” Gladis berteriak sambil menangis. ”Gue udah cukup menahan sakit hati gue waktu Jordan cerita dia suka lo. Tapi gue bener-bener ga terima lo buat Jordan jadi gitu sekarang.”
            ”Emang Jordan kenapa..?”suaraku pelan.. Aku mulai khawatir akan keadaan Jordan.
            ”Alah!! Ga usah sok deh lo! Lo tu puas kan dah bisa buat Jordan suka sama Lo. Dan setelah Lo berhasil Lo tolak gitu aja!! Emang ya Lo,, sok alim tau ga!!”
            ”Dis, lo jangan gitu dong..! Parah banget sih lo. Kalo Echa nolak Jordan berarti dia ga suka ma Jordan, jangan maksain kehendak gitu aja!” Bela Fabian.
            ”Lo ga usah ikut campur deh Fabian. Ini ga da urusannya sama sekali ama lo!”
            ”Gladis. Sebaiknya lo pergi deh sekarang atau gue panggilin kepala sekolah!” Clara berusaha berkata dengan tenang tetapi penuh penekanan.
            ”Mau ngadu lo ya..Dasar!!” Gladis berlalu karena tak mau masalah ini jadi tambah panjang kalau sampai ke telinga kepala sekolah. Karena pastinya akan sampai juga ke telinga kedua orang tua Gladis. Dan mereka akan sangat malu dengan tingkah anak gadis mereka yang terkenal baik ternyata mampu marah-marah di hadapan banyak orang.


            ”Cha, tenang ya....!!!” Teman-teman akrabku berusaha menenangkanku. Bahkan semua teman sekelasku yang sudah datang pagi itu.
            Oh Tuhan,, berdosakah aku pada Jordan ??
**

            Hari Minggu ini aku tidak beranjak dari depan TV. Sebenarnya aku tidak fokus dengan TV, tetapi melayangkan pikiran-pikiranku pada Dio dan Jordan.
            ”Dek, Dio mau menikah.” Kakakku mengagetkanku dengan tiba-tiba duduk di sebelahku.
            ”Hah?” Aku terkejut setengah mati. Kata-kata kakakku membuyarkan lamunanku. Hatiku benar-benar tak karuan, perasaanku bergejolak. Naluriku ingin memberontak bahwa apa yang kudengar hanyalah angin yang berdesir dan segera berlalu.
            ”Sebenarnya Dio menolak dek. Tapi karena pertimbangan usaha orang tuanya dia menerima. Padahal Dio suka cewek lain, dia suka Laura.”
            Aku menatap kakakku. Dekat. Dia pun menatapku. Aku tau bahwa dia mengetahui perasaanku, mengetahui kegundahan hatiku. Mengerti bahwa aku menyimpan perasaan yang begitu dalam pada sahabat kakakku. Tren Dio Vaza.
            Kakakku merangkul bahuku karena aku terlalu lama terdiam, terpaku. Aku tambah makin tak karuan setelah mendengar Dio menyukai orang lain. Aku lemas. Kakiku mendadak terasa dingin bagai terendam air es.
            ”Kak.....” aku ingin mengatakan sesuatu tapi aku benar-benar tak kuasa untuk mengucapkannya.
            ”Heh? Kenapa? Adek,, yang semangat ya!!” kakakku mengusap rambutku kemudian beranjak dari sofa empuk yang dia duduki.
            Aku tau kalau dia akan membiarkanku menenangkan diri tapi aku menarik tangannya, mengisyaratkan bahwa aku tak mau dia berlalu. ”Kak...”
            Dia kembali duduk, ”Ada apa dek??”
            ”Kak, kamu tau sesuatu kan?”
            ”Aku kakakmu, mungkin aku bisa menangkap sorot matamu. Tapi, aku tak mengerti. Aku hanya bisa menebak. Tapi aku ga mau berspekulasi.” Dengan bijak dia menjelaskan padaku.
            ”Kak, aku mencintai..... Dio.” Aku tak ragu lagi mengungkapkannya. Selama ini aku terdiam perihal aku mencintai Dio dari keluargaku. Tapi, kali ini aku mengatakannya pada kakakku. Dan aku mulai menangis di bahu kakakku.
            ”Dek, aku tahu rasanya. Aku mengerti.. Karena terlalu lama menyimpan dan memendam perasaan membuat banyak orang tertipu dengan semuanya. Bahkan tak ada yang tau...”
            Aku menatap kakakku. Terlihat gurat-gurat kesedihan di wajah tampannya.
            ”Kak, siapa calonnya?” Desahku. Aku mulai berani bersuara. Walau aku takut mendengarnya tapi aku berusaha tabah. Membangun kekuatan karena pasti akan lebih sakit saat melihat Dio bersanding dengan cewek lain.
            ”Shandy...” Kakakku menunduk. ”Shandy Amanditta...”
            ”Hah?” Aku melotot tajam, kaget. Betapa aku dan kakakku memendam kesakitan.
Shandy Amanditta tak lain adalah cewek yang dicintai kakakku. Namun, dia tak berani mengungkapkan karena menunggu berlimpah materi (bukan dari orang tua), baru mengungkapkan perasaannya pada Shandy bahwa Shandy adalah bagian dari hidupnya. Dia juga tak menceritakan perasaannya pada siapapun kecuali padaku. Aku yang memendam rahasianya. Aku yang akhirnya juga sama-sama terjatuh dengan kakakku.
            Tuhan, mengapa ini terjadi? Aku dan Kakakku harus mengakhiri harapan akan kasih suci cinta yang selalu dijaga dalam hati. Kenapa?? Kenapa seperti ini?? Jelas-jelas bukan ini yang kuinginkan dan kakakku inginkan. Apa aku terlalu banyak menuntut padaMu Tuhan??
Semoga memang benar akan ada kasih dari orang yang pantas mendampingi kita berdua. Amin...!!!
***

1 comment:

  1. Thanks for reading this.. please leave your comment.. i fell very honored :)

    ReplyDelete