Saturday, May 26, 2012

TATA RUANG SEBAGAI PENGENDALI DALAM PELAKSANAAN PEMBANGUNAN KOTA



Pembangunan kota merupakan upaya memperbaiki kondisi yang masih dianggap belum ideal dimana pelaksana inti pembangunan adalah pemerintah. Pemerintah yang membuat policy atas penyelenggaraan pembangunan yang terkonsep dalam penataan ruang. Para pemangku kebijakan mempunyai kekuatan dalam percepatan proses pembangunan itu sendiri. Akan tetapi, terkadang pembangunan yang tidak terkendali dapat menimbulkan masalah baru seperti konversi lahan pertanian produktif ke lahan terbangun misalnya untuk toko. Mungkin secara perspektif ekonomi, pemilik lahan dapat memperoleh benefit yang tinggi dari konversi lahan tersebut tetapi perlu juga ada pertimbangan terkait dengan perspektif lain seperti sosial dan lingkungannya. Oleh karena itu, perencanaan tata ruang dianggap mampu menjawab permasalahan tersebut meskipun perlu kaki
Penataan ruang merupakan suatu siostem perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfatan ruang dimana ketiganya saling terkait. Dalam Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengaturan penataan ruang dianggap sebagai upaya pembentukan landasan hukum bagi pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang. Dengan adanya landasan hukum maka diharapkan pemanfaatan ruang dapat lebih terkendali dan terkontrol, mengingat pelaksanaan penataan ruang yang belum optimal. Mengapa belum optimal? Hal ini terkait dengan pemanfaatan ruang yang tidak mempertimbangkan kesesuaian lahan.




berada
pada
Level
Pemerintah
Pelaksanaan penataan ruang
Pengendalian pemanfaatan ruang
Pemanfaatan ruang
Perencanaan tata ruang
Sumber : UUPR No.26 Tahun 2007
Gambar 1. Aspek dalam Pelaksanaan Penataan Ruang
 








Dalam pembangunan kota, lahan merupakan sumber atau resource karena semua aktivitas manusia yang dizonasikan dalam bentuk kawasan fungsional terjadi di atas lahan. Sehingga dapat diketahui bahwa pengelolaan penggunaan lahan sangat penting dalam pembangunan kota khususnya dalam penataan ruang. Pada aspek pengendalian pemanfaatan ruang saja, pengendalian yang dilakukan melalui zonasi, perizinan pemanfaatan ruang, pemberian insentif dan disinsentif serta pemberian sanksi. Hal ini merupakan upaya penertiban dalam pemanfaatan ruang. Salah satu produk penataan ruang adalah zoning regulation yang menjadi pengendali dalam pemanfaatan ruang dalam pengaturan keseimbangan antara peruntukan lahan dengan aktivitas, penyediaan sarana dan prasarana dan meminimalisir dampak pembangunan perkotaan.  
Dalam hal pemanfaatan ruang terdapat aturan minimum yang terdiri dari Koefisien Dasar Bangunan (KDB) maksimum, Koefisien Lantai Bangunan (KLB) maksimum, dan Koefisien Dasar Hijau (KDH) minimum. Melihat kasus di Kota Semarang, terkait kesesuaian ketepatan penggunaan lahan di Kp Kebonharjo Kelurahan Tanjung Mas. Kelurahan Tanjung Mas berada di Kecamatan Semarang Utara , diketahui bahwa berdasarkan sertifikat tanah yang disahkan oleh Kepala Sub Direktorat Agraria Kotamadya Semarang tanda bukti hak milik atas lahan dengan nomor 336/302/77 mempunyai luas lahan 224 m2 dan luas bangunan dan perkerasan yang ada di atasnya adalah 124 m2 pada awal dibangun. Rasio antara luas bangunan dan luas lahan akan menghasilkan apa yang disebut aturan koefisien dasar bangunan (KDB). KDB bangunan yang ada di atas lahan tersebut sebesar 47%. Bangunan yang sudah ada sejak tahun 1977 tidak memiliki Izin Mendirikaaan Bangunan (IMB) dikarenakan bangunan yang memperoleh SIMB adalah lahan yang terbangun terhitung sejak tahun 1995.

 

Gambar 2. Lokasi Obyek Pajak
Sumber : Bappeda dan Citra, 2010




Berdasarkan aturan KDB yang ada di Kecamatan Semarang utara, bangunan yang berada di atas lahan tersebut sudah memenuhi aturan tata bangunan lingkungan. Akan tetapi, pada perkembangannya, pemilik lahan dapat mengintervensi lahannya dan membuat perkerasan jalan di atas lahan tersebut, di semua luasan lahan tanpa terkecuali tanpa menyisakan Koefisien Dasar Hijau (KDH). Sehingga luas KDB kondisi sekarang  mencapai hampir 100 m2 Oleh karena itu, terkait dengan adanya hak milik atas lahan yang dapat memanfaatkan ruang di atas lahan tetap tidak diperbolehkan untuk mengeksploitasi penggunaan lahan tersebut. Hal ini tidak hanya mengurangi daerah yang seharusnya menjadi tangkapan air hujan, tetapi mengurangi ketetapan KDB dan KDH yang seharusnya. Jika dilihat dari RTRW dan RTDRK Kota Semarang peruntukkan kavling pada awal pembangunan sudah sesuai dengan rencana penataan ruang karena KDH tidak melebihi batas maksimum KDH yang ditetapkan dalam penataan ruang yaitu 80% luas lahan. Akan tetapi, pada perkembangannya sudah tidak sesuai lagi. Kemudian kriteria dasar lain yang digunakan dalam pengendalian pemanfaatan ruang adalah Garis Sempadan Bangunan (GSB). Ukuran GSB bangunan sepanjang 2,5 meter dan sudah disesuaikan dengan aturan.
Undang-Undang Penataan Ruang nomor 26 tahun 2007 mempunyai kekuatan sebagai produk hukum yang mampu menjadi pengendali pengembangan kawasan lain. Diharapkan dengan adanya Undang-Undang Penataan Ruang, pembangunan kota yang tidak sesuai aturan dapat dimimalisir.