Pembangunan
kota merupakan upaya memperbaiki kondisi yang masih dianggap belum ideal dimana
pelaksana inti pembangunan adalah pemerintah. Pemerintah yang membuat policy
atas penyelenggaraan pembangunan yang terkonsep dalam penataan ruang. Para
pemangku kebijakan mempunyai kekuatan dalam percepatan proses pembangunan itu
sendiri. Akan tetapi, terkadang pembangunan yang tidak terkendali dapat
menimbulkan masalah baru seperti konversi lahan pertanian produktif ke lahan
terbangun misalnya untuk toko. Mungkin secara perspektif ekonomi, pemilik lahan
dapat memperoleh benefit yang tinggi dari konversi lahan tersebut tetapi perlu
juga ada pertimbangan terkait dengan perspektif lain seperti sosial dan
lingkungannya. Oleh karena itu, perencanaan tata ruang dianggap mampu menjawab
permasalahan tersebut meskipun perlu kaki
Penataan
ruang merupakan suatu siostem perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfatan ruang dimana ketiganya saling terkait. Dalam
Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengaturan penataan
ruang dianggap sebagai upaya pembentukan landasan hukum bagi pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang. Dengan adanya landasan
hukum maka diharapkan pemanfaatan ruang dapat lebih terkendali dan terkontrol,
mengingat pelaksanaan penataan ruang yang belum optimal. Mengapa belum optimal?
Hal ini terkait dengan pemanfaatan ruang yang tidak mempertimbangkan kesesuaian
lahan.
berada
pada
Level
Pemerintah
|
Pelaksanaan
penataan ruang
|
Pengendalian
pemanfaatan ruang
|
Pemanfaatan
ruang
|
Perencanaan
tata ruang
|
Sumber : UUPR No.26 Tahun 2007
Gambar 1. Aspek dalam Pelaksanaan
Penataan Ruang
|
Dalam
pembangunan kota, lahan merupakan sumber atau resource karena semua aktivitas manusia yang dizonasikan dalam
bentuk kawasan fungsional terjadi di atas lahan. Sehingga dapat diketahui bahwa
pengelolaan penggunaan lahan sangat penting dalam pembangunan kota khususnya
dalam penataan ruang. Pada aspek pengendalian pemanfaatan ruang saja,
pengendalian yang dilakukan melalui zonasi, perizinan pemanfaatan ruang,
pemberian insentif dan disinsentif serta pemberian sanksi. Hal ini merupakan
upaya penertiban dalam pemanfaatan ruang. Salah satu produk penataan ruang
adalah zoning regulation yang menjadi
pengendali dalam pemanfaatan ruang dalam pengaturan keseimbangan antara
peruntukan lahan dengan aktivitas, penyediaan sarana dan prasarana dan
meminimalisir dampak pembangunan perkotaan.
Dalam hal
pemanfaatan ruang terdapat aturan minimum yang terdiri dari Koefisien Dasar
Bangunan (KDB) maksimum, Koefisien Lantai Bangunan (KLB) maksimum, dan Koefisien
Dasar Hijau (KDH) minimum. Melihat kasus di Kota Semarang, terkait kesesuaian
ketepatan penggunaan lahan di Kp Kebonharjo Kelurahan Tanjung Mas. Kelurahan
Tanjung Mas berada di Kecamatan Semarang Utara , diketahui bahwa berdasarkan
sertifikat tanah yang disahkan oleh Kepala Sub Direktorat Agraria Kotamadya
Semarang tanda bukti hak milik atas lahan dengan nomor 336/302/77 mempunyai
luas lahan 224 m2 dan luas bangunan dan perkerasan yang ada di
atasnya adalah 124 m2 pada awal dibangun. Rasio antara luas bangunan
dan luas lahan akan menghasilkan apa yang disebut aturan koefisien dasar
bangunan (KDB). KDB bangunan yang ada di atas lahan tersebut sebesar 47%. Bangunan
yang sudah ada sejak tahun 1977 tidak memiliki Izin Mendirikaaan Bangunan (IMB)
dikarenakan bangunan yang memperoleh SIMB adalah lahan yang terbangun terhitung
sejak tahun 1995.
|
Gambar 2.
Lokasi Obyek Pajak
Sumber : Bappeda dan Citra, 2010
|
Berdasarkan aturan KDB yang ada di
Kecamatan Semarang utara, bangunan yang berada di atas lahan tersebut sudah
memenuhi aturan tata bangunan lingkungan. Akan tetapi, pada perkembangannya,
pemilik lahan dapat mengintervensi lahannya dan membuat perkerasan jalan di
atas lahan tersebut, di semua luasan lahan tanpa terkecuali tanpa menyisakan
Koefisien Dasar Hijau (KDH). Sehingga luas KDB kondisi sekarang mencapai hampir 100 m2 Oleh karena
itu, terkait dengan adanya hak milik atas lahan yang dapat memanfaatkan ruang
di atas lahan tetap tidak diperbolehkan untuk mengeksploitasi penggunaan lahan
tersebut. Hal ini tidak hanya mengurangi daerah yang seharusnya menjadi
tangkapan air hujan, tetapi mengurangi ketetapan KDB dan KDH yang seharusnya. Jika dilihat dari RTRW dan RTDRK Kota
Semarang peruntukkan kavling pada awal pembangunan sudah sesuai dengan rencana
penataan ruang karena KDH tidak melebihi batas maksimum KDH yang ditetapkan
dalam penataan ruang yaitu 80% luas lahan. Akan tetapi, pada perkembangannya
sudah tidak sesuai lagi. Kemudian kriteria dasar lain yang digunakan dalam
pengendalian pemanfaatan ruang adalah Garis Sempadan Bangunan (GSB). Ukuran GSB
bangunan sepanjang 2,5 meter dan sudah disesuaikan dengan aturan.
Undang-Undang
Penataan Ruang nomor 26 tahun 2007 mempunyai kekuatan sebagai produk hukum yang
mampu menjadi pengendali pengembangan kawasan lain. Diharapkan dengan adanya
Undang-Undang Penataan Ruang, pembangunan kota yang tidak sesuai aturan dapat
dimimalisir.