I.
PENDAHULUAN
Masyarakat
miskin merupakan masyarakat dengan keterbatasan peluang untuk mengakses
pendapatan dan pekerjaan serta ketidakmampuan mengakses rumah dan pelayanannya,
berada pada lingkungan yang tidak sehat dan rendah perlindungan sosial. Perumahan
sebagai hak dasar masyarakat yang sudah selayaknya mampu diakses setiap
kalangan masyarakat.
Akan
tetapi, perumahan belum mampu dikases oleh masyarakat miskin. Dekatnya masyarakat miskin
dan ketidakmampuan mengakses hunian menjadi pemasalahan yang global dimana setiap negara meletakkan permasalahan perumahan sebagai masalah
universal. Akan tetapi,
di negara-negara berkembang maupun negara tidak maju, masalah perumahan terasa
sangat besar karena banyaknya rumah tangga miskin yang belum mendapat hak
dasarnya karena ketidakmampuan mengakses perumahan. Akhirnya muncul
kantong-kantong permukiman kumuh. Permasalahan mengenai
perumahan menjadi fokus perhatian Pemerintah. Oleh karena itu, Pemerintah menerapkan berbagai macam program
untuk mengentaskan kemiskinan dan untuk mempermudah masyarakat miskin mengakses
Perumahan.
II.
SUSTAINABLE HOUSING PROVISION FOR THE URBAN POOR : A REVIEW OF PUBLIC
SECTOR INTERVENTION IN NIGERIA
Nigeria
dikenal sebagai less developed countries
(LDCs) dengan tingkat kemiskinan yang cukup besar. Kekhawatiran Nigeria
terhadap kemiskinan dan perumahan sangat besar. Hal ini dikarenakan hampir 75%
masyarakat kota tinggal di kawasan kumuh (slums). Padahal Pemerintah Nigeria
sudah berupaya untuk mengatasi permasalahan penyediaan Perumahan.
Gambar
1. Perumahan Kumuh di Nigeria
Oleh
karena itu, diperlukan upaya yang lebih dari Pemerintah mengingat masih
tingginya angka kemiskinan di perkotaan di Nigeria dan sebagian besar berada
pada kawasan kumuh yang tidak layak untuk dihuni. Maka diterapkan upaya intervensi
sektor publik untuk perumahan. Serta perlunya pendekatan bottom-up yang
mengikutsertakan partisipasi komunitas untuk memastikan penyediaan rumah.
Permasalahan
di Nigeria menjadi lebih sulit saat laju pertumbuhan penduk perkotaan yang
tinggi sehingga memperparah kondisi perumahan miskin, Penduduk miskin kebayakan
tinggal di kantong-kantong permukiman yang padat dan kumuh. Selain itu,
permasalahan juga semakin meruncing saat muncul perumahan ilegal. Tekanan
jumlah penduduk yang besar berdampak pada kurangnya pelayanan publik dan
infrastruktur yang seharusnya menunjang aktivitas penduduk.
Nigeria
merupakan salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang sangat
tinggi. Laju pertumbuhan penduduk semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada
tahun 1930, hanya 7% masyarakat yang tinggal di pusat kota, pada tahun 1950
menjadi berjumlah 10% saja. Namun saat ini jumlahnya meningkat karena adanya
urbanisasi. Yaitu mencapai lebih dari 40% dari jumlah penduduk keseluruhan.
Berdasarkan perhitungan Pemerintah Federal Nigeria, sejumlah 60% penduduk
Nigeria belum mempunyai rumah yang layak huni. 75% dari jumlah penduduk
perkotaan tinggal di daerah slums.
Semakin
parahnya kondisi perumahan juga karena terbatasnya infrastruktur seperti air
bersih, drainase, pembuangan sampah, sanitasi dan jalan. Hal ini mengakibatkan
kualitas lingkungan perumahan. Ekspresi kemiskinan perkotaan ditandai dengan
kawasan dengan kepadatan bangunan yang tinggi, kepadatan populasi penduduk,
kurangnya public space, tingkat kesehatan yang buruk, sanitasi dan drainase
yang kurang baik.
Peran
instervensi sektor publik di perumahan sudah dimulai sejak masa kolonial atau
masa sebelum kemerdekaan dimana penyediaan rumah diperuntukkan bagi staf asing
Pemerintah Kolonial serta staf pribumi yang mempunyai pekerjaan di bidang
kepolitian dan kereta api. Hal ini ditandai dengan munculnya Area Perumahan
Pemerintah atau Government Residential Areas (GRAs) yang merupakan perumahan
layak huni dan lingkungan perumahan bagi mereka yang terbaik di Pemerintahan.
Lingkungan yang baik sudah dilengkapi dengan infrastruktur seperti air bersih,
drainase sistem tertutup, listrik dan RTH serta public space. Kegiatan ini
diimplementasikan di Lagos serta ibu kota provinsi.
Pada
tahun 1955, masalah perumahan kembali menjadi perhatian saat ada upaya
perbaikan kawasan kumuh. Lokasi perbaikan berada di Apapa dan Victoria yang
padat. Upaya Lagos Executive Development Board (LEDB) dalam menyelesaikan
permasalahn permukiman adalah melalui skema yang ditujukan kepada:
1)
para pekerja Housing Estate and
Re-Housing Estate
2)
Akinsemoyin and Eric Moore Housing
Estate, Surulere
3)
Pekerja Perumahan Estate (Tahap
II), Surulere
4)
Skema kepemilikan lahan perumahan
di Surulere,
Apapa, Southeast and Southwest Ikoyi, Lupe and Isolo Estates
Namun, pada masa Pra Kemerdekaan
Nigeria, penyediaan perumahan hanya terbatas pada penyediaan unit perumahan
staf Pemerintah.
Pada masa pasca kemerdekaan
(1960-1972), intervensi sektor publik tidak berjalan seperti pada masa pra
Kemerdekaan, karena subsidi penyediaan perumahan ditujukan kepada para elit
politik. Akhirnya permintaan perumahan di GRAs meningkat. Akhirnya masih banyak
masyarakat yang belum mampu mengakses rumah. Pemerintah Nigerian memberikan
semacam pinjaman keuangan untuk memecahkan masalah perumahan tetapi minimnya
respon masyarakat miskin karena syarat untuk mengajukan pinjaman yang rumit dan
hanya bisa dipenuhi oleh masyarakat
berpendapatan menengah ke atas.
Pada tahun 1971, masalah perumahan
dijadikan sebagai fokus nasional dengan membentuk Dewan Nasional Perumahan.
Pada tahun 1972,. target yang ingin diwujudkan adalah membangun 59.000 unit
rumah tinggal dengan jumlah 15.000 unit dibangun di Lagos dan sisanya dibangun
di 11 negara bagian. Tahun 1973, Dewan Nasional Perumahan memberikan pinjaman
dengan bunga 3% tetapi tetap saja masayarakat miskin belum mendapat keuntungan
dari program ini karena syaratnya adalah masyarakat sudah mengakses rumah dengan
biaya sendiri dan Dewan Nasional Perumahan akan memberikan pinjaman untuk sisa
60-80% cicilan rumah. Hingga saat ini, masih ditemukan masyarakat miskin
perkotaan yang tinggal di rumah tidak layak huni karena ketidakmampuan membayar
uang muka yang diperlukan, rendahnya pendapatan yang menyulitkan masyarakat
membayar bunga pinjaman, keterbatasan usia, tidak ada jaminan pinjaman. Bahkan,
ketidakmampuan sektor publik dalam menyediakan perumahan ditandai dengan hanya
terwujudnya 500 unit tempat tingga (kurang dari 1%) dari total rumah yang
ditargetkan untuk dibangun. Selain itu, sasaran rumah layak huni tidak tepat
karena justru rumah tersebutbanyak dibeli oleh rumah tangga yang kaya.
Melihat kegagalan program penyediaan
rumah untuk masyarakat miskin, Pemerintah berupaya melakukan pembiayaan dengan
merangkul sektor swasta dengan mendirikan National Housing Fund serta membentuk
Kementrian Federal Pembangunan Perumahan Perkotaan untuk memobilisasi alokasi
dana untuk pembiayaan perumahan.
Kritik terhadap Kebijakan perumahan di
Nigeria adalah ketidaksinkronan antara
dana yang dialokasikan untuk penyediaan perumahan dengan target yang dicapai
dalam pembangunan perumahan, karena syarat yang tidak bisa dipenuhi oleh
masyarakat miskin. Meskipun Pemerintah tetap konsisten dalam upaya mengurangi
masalah perumahan, tetapi strategi yang selalu berubah pada saat perubahan
pemerintahan mengakibatkan ketidakefisienan penyelesaian masalah.
Saat ini, penyediaan rumah diarahkan
pada konsep keberlanjutan. Tetapi perlu ada partisipasi masyarakat untuk
memastikan dan mendefinisikan kebutuhan yang tepat mengenai kebutuhan perumahan. Dalam
mewujudkan perumahan yang berkelanjutan membutuhkan perubahan sosial,
rekonstruksi kelembagaan, serta pendekatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi
dalam pembangunan yang diarahkan menjadi pembangunan bottom up.
Pentingnya partisipasi masyarakat
adalah karena masyarakat lokal berada dalam posisi terbaik untuk
mengidentifikasi kebutuhan, dan prioritasnya terkait dengan penggunaan dan
organisasi ruang dan dipahami dari sisi sosial budaya masyarakat lokal. Karena
masyarakat telah mempunyai persepsi sendiri terhadap lingkungannya.
I.
PERUMAHAN MISKIN DI INDONESIA
Penduduk
mayoritas tinggal di kawasan perkotaan sudah bukan barang yang langka lagi.
Karena sebagian besar negara di dunia, populasi penduduk mayoritas tinggal di
perkotaan. Hal ini mengakibatkan meningkatnya kebutuhan rumah beserta sarana
prasarananya di perkotaan. Sayangnya populasi yang tinggal di perkotaan
didominasi oleh masyarakat miskin. Inilah yang mengakibatkan degradasai
lingkungan akibat banyaknya permukiman kumuh dan permukiman liar. Kondisi yang
serupa dengan Nigeria juga dialami Indonesia. Bahkan di Indonesia, laju
pertumbuhan permukiman kumuh 1,37 % pertahunnya.
Pemerintah
Indonesia memang sudah berkomitmen dalam mengentaskan kemiskinan dan memberi
kemudahan kepada masyarakat miskin untuk mengakses perumahan yang layak huni
agar luas permukiman kumuh tidak bertambah dan semakin padat akibat
ketidakmampuan masyarakat untuk mengakses perumahan.
Permasalahan
di Indonesis hampir serupa dengan permasalahan di Nigeria, komitmen Pemerintah
yang tidak dibarengi dengan kapasitas kelembagaan yang memadai mampu
mengakibatkan kegagalan program penyediaan perumahan. Pemerintah sudah berupaya
mengurangi backlog perumahan dan rumah yang tidak layak huni melalui kredit
kepemilikan rumah. Tetapi, sama halnya dengan di Nigeria, persyaratan yang
terkadang susah untuk dipenuhi oleh masyarakat miskin yang menjadikan program
tidak serta merta berhasil. Seperti contoh FLPP (Fasilitas Likuiditas
Pembiayaan perumahan) sebagai kebijakan bantuan dalam mengakses rumah kurang bisa menghimpun masyarakat miskin
karena syarat mengajukan FLPP adalah nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Di
Nigeria, pendekatan terhadap masyarakat dalam rangka mengajak masyarakat
berpartisipasi dalam perwujudan perumahan berkelanjutan juga ada di Indonesia.
Dimana penataan lingkungan dengan mengajak masyarakat diterapkan dalam program
penataan lingkungan perumahan berbasis komunitas (PLP-BK) yang merupakan
kelanjutan dari neighborhood development (ND)
yang sudah lama diterapkan tetapi saat ini, komunitas penting dalam menentukan
keberhasilan program-program pembangunan yang sudah diterapkan Pemerintah.
II.
KESIMPULAN
Masalah
mengenai perumahan bukan hanya masalah individu saja tetapi sebagai masalah
global dimana perlu pendekatan untuk mengurangi masalah kemiskinan. Pemerintah
harus berkomitmen dalam mengurangi luas kawasan kumuh dan menekan
pertumbuhannya melalui penyediaan perumahan yang dapat diakses masyarakat
miskin. Kapasitas kelembagaan yang memadai dapat mempercepat keberhasilan
program pembangunan.
Selain
kapasitas lembaga yang memadai juga perlu peran masyarakat. Saat ini,
pendekatan partisipatif digunakan untuk mencapai keberhasilan dalam
pembangunan. Karena masyarakat mempunyai kapasitas dan kebutuhan yang berbeda
sesuai dengan sosial budaya masyarakatnya.
No comments:
Post a Comment