Thursday, November 8, 2012

PERUMAHAN MISKIN DI NIGERIA DAN INDONESIA


 I.          PENDAHULUAN
Masyarakat miskin merupakan masyarakat dengan keterbatasan peluang untuk mengakses pendapatan dan pekerjaan serta ketidakmampuan mengakses rumah dan pelayanannya, berada pada lingkungan yang tidak sehat dan rendah perlindungan sosial. Perumahan sebagai hak dasar masyarakat yang sudah selayaknya mampu diakses setiap kalangan masyarakat.
Akan tetapi, perumahan belum mampu dikases oleh masyarakat miskin. Dekatnya masyarakat miskin dan ketidakmampuan mengakses hunian menjadi pemasalahan yang global dimana setiap negara meletakkan permasalahan perumahan sebagai masalah universal. Akan tetapi, di negara-negara berkembang maupun negara tidak maju, masalah perumahan terasa sangat besar karena banyaknya rumah tangga miskin yang belum mendapat hak dasarnya karena ketidakmampuan mengakses perumahan. Akhirnya muncul kantong-kantong permukiman kumuh. Permasalahan mengenai perumahan menjadi fokus perhatian Pemerintah. Oleh karena itu,  Pemerintah menerapkan berbagai macam program untuk mengentaskan kemiskinan dan untuk mempermudah masyarakat miskin mengakses Perumahan.
II.          SUSTAINABLE HOUSING PROVISION FOR THE URBAN POOR : A REVIEW OF PUBLIC SECTOR INTERVENTION IN NIGERIA
Nigeria dikenal sebagai less developed countries  (LDCs) dengan tingkat kemiskinan yang cukup besar. Kekhawatiran Nigeria terhadap kemiskinan dan perumahan sangat besar. Hal ini dikarenakan hampir 75% masyarakat kota tinggal di kawasan kumuh (slums). Padahal Pemerintah Nigeria sudah berupaya untuk mengatasi permasalahan penyediaan Perumahan. 


Gambar 1. Perumahan Kumuh di Nigeria

Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih dari Pemerintah mengingat masih tingginya angka kemiskinan di perkotaan di Nigeria dan sebagian besar berada pada kawasan kumuh yang tidak layak untuk dihuni. Maka diterapkan upaya intervensi sektor publik untuk perumahan. Serta perlunya pendekatan bottom-up yang mengikutsertakan partisipasi komunitas untuk memastikan penyediaan rumah.
Permasalahan di Nigeria menjadi lebih sulit saat laju pertumbuhan penduk perkotaan yang tinggi sehingga memperparah kondisi perumahan miskin, Penduduk miskin kebayakan tinggal di kantong-kantong permukiman yang padat dan kumuh. Selain itu, permasalahan juga semakin meruncing saat muncul perumahan ilegal. Tekanan jumlah penduduk yang besar berdampak pada kurangnya pelayanan publik dan infrastruktur yang seharusnya menunjang aktivitas penduduk.
Nigeria merupakan salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi. Laju pertumbuhan penduduk semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1930, hanya 7% masyarakat yang tinggal di pusat kota, pada tahun 1950 menjadi berjumlah 10% saja. Namun saat ini jumlahnya meningkat karena adanya urbanisasi. Yaitu mencapai lebih dari 40% dari jumlah penduduk keseluruhan. Berdasarkan perhitungan Pemerintah Federal Nigeria, sejumlah 60% penduduk Nigeria belum mempunyai rumah yang layak huni. 75% dari jumlah penduduk perkotaan tinggal di daerah slums.
Semakin parahnya kondisi perumahan juga karena terbatasnya infrastruktur seperti air bersih, drainase, pembuangan sampah, sanitasi dan jalan. Hal ini mengakibatkan kualitas lingkungan perumahan. Ekspresi kemiskinan perkotaan ditandai dengan kawasan dengan kepadatan bangunan yang tinggi, kepadatan populasi penduduk, kurangnya public space, tingkat kesehatan yang buruk, sanitasi dan drainase yang kurang baik.
Peran instervensi sektor publik di perumahan sudah dimulai sejak masa kolonial atau masa sebelum kemerdekaan dimana penyediaan rumah diperuntukkan bagi staf asing Pemerintah Kolonial serta staf pribumi yang mempunyai pekerjaan di bidang kepolitian dan kereta api. Hal ini ditandai dengan munculnya Area Perumahan Pemerintah atau Government Residential Areas (GRAs) yang merupakan perumahan layak huni dan lingkungan perumahan bagi mereka yang terbaik di Pemerintahan. Lingkungan yang baik sudah dilengkapi dengan infrastruktur seperti air bersih, drainase sistem tertutup, listrik dan RTH serta public space. Kegiatan ini diimplementasikan di Lagos serta ibu kota provinsi.
Pada tahun 1955, masalah perumahan kembali menjadi perhatian saat ada upaya perbaikan kawasan kumuh. Lokasi perbaikan berada di Apapa dan Victoria yang padat. Upaya Lagos Executive Development Board (LEDB) dalam menyelesaikan permasalahn permukiman adalah melalui skema yang ditujukan kepada:
1)    para pekerja Housing Estate and Re-Housing Estate
2)    Akinsemoyin and Eric Moore Housing Estate, Surulere
3)    Pekerja Perumahan Estate (Tahap II), Surulere
4)    Skema kepemilikan lahan perumahan di Surulere, Apapa, Southeast and Southwest Ikoyi, Lupe and Isolo Estates
Namun, pada masa Pra Kemerdekaan Nigeria, penyediaan perumahan hanya terbatas pada penyediaan unit perumahan staf Pemerintah.
Pada masa pasca kemerdekaan (1960-1972), intervensi sektor publik tidak berjalan seperti pada masa pra Kemerdekaan, karena subsidi penyediaan perumahan ditujukan kepada para elit politik. Akhirnya permintaan perumahan di GRAs meningkat. Akhirnya masih banyak masyarakat yang belum mampu mengakses rumah. Pemerintah Nigerian memberikan semacam pinjaman keuangan untuk memecahkan masalah perumahan tetapi minimnya respon masyarakat miskin karena syarat untuk mengajukan pinjaman yang rumit dan hanya bisa dipenuhi oleh masyarakat  berpendapatan menengah ke atas.
Pada tahun 1971, masalah perumahan dijadikan sebagai fokus nasional dengan membentuk Dewan Nasional Perumahan. Pada tahun 1972,. target yang ingin diwujudkan adalah membangun 59.000 unit rumah tinggal dengan jumlah 15.000 unit dibangun di Lagos dan sisanya dibangun di 11 negara bagian. Tahun 1973, Dewan Nasional Perumahan memberikan pinjaman dengan bunga 3% tetapi tetap saja masayarakat miskin belum mendapat keuntungan dari program ini karena syaratnya adalah masyarakat sudah mengakses rumah dengan biaya sendiri dan Dewan Nasional Perumahan akan memberikan pinjaman untuk sisa 60-80% cicilan rumah. Hingga saat ini, masih ditemukan masyarakat miskin perkotaan yang tinggal di rumah tidak layak huni karena ketidakmampuan membayar uang muka yang diperlukan, rendahnya pendapatan yang menyulitkan masyarakat membayar bunga pinjaman, keterbatasan usia, tidak ada jaminan pinjaman. Bahkan, ketidakmampuan sektor publik dalam menyediakan perumahan ditandai dengan hanya terwujudnya 500 unit tempat tingga (kurang dari 1%) dari total rumah yang ditargetkan untuk dibangun. Selain itu, sasaran rumah layak huni tidak tepat karena justru rumah tersebutbanyak dibeli oleh rumah tangga yang kaya.
Melihat kegagalan program penyediaan rumah untuk masyarakat miskin, Pemerintah berupaya melakukan pembiayaan dengan merangkul sektor swasta dengan mendirikan National Housing Fund serta membentuk Kementrian Federal Pembangunan Perumahan Perkotaan untuk memobilisasi alokasi dana untuk pembiayaan perumahan.
Kritik terhadap Kebijakan perumahan di Nigeria adalah  ketidaksinkronan antara dana yang dialokasikan untuk penyediaan perumahan dengan target yang dicapai dalam pembangunan perumahan, karena syarat yang tidak bisa dipenuhi oleh masyarakat miskin. Meskipun Pemerintah tetap konsisten dalam upaya mengurangi masalah perumahan, tetapi strategi yang selalu berubah pada saat perubahan pemerintahan mengakibatkan ketidakefisienan penyelesaian masalah.
Saat ini, penyediaan rumah diarahkan pada konsep keberlanjutan. Tetapi perlu ada partisipasi masyarakat untuk memastikan dan mendefinisikan kebutuhan yang tepat  mengenai kebutuhan perumahan. Dalam mewujudkan perumahan yang berkelanjutan membutuhkan perubahan sosial, rekonstruksi kelembagaan, serta pendekatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan yang diarahkan menjadi pembangunan bottom up.
Pentingnya partisipasi masyarakat adalah karena masyarakat lokal berada dalam posisi terbaik untuk mengidentifikasi kebutuhan, dan prioritasnya terkait dengan penggunaan dan organisasi ruang dan dipahami dari sisi sosial budaya masyarakat lokal. Karena masyarakat telah mempunyai persepsi sendiri terhadap lingkungannya.
 I.          PERUMAHAN MISKIN DI INDONESIA
Penduduk mayoritas tinggal di kawasan perkotaan sudah bukan barang yang langka lagi. Karena sebagian besar negara di dunia, populasi penduduk mayoritas tinggal di perkotaan. Hal ini mengakibatkan meningkatnya kebutuhan rumah beserta sarana prasarananya di perkotaan. Sayangnya populasi yang tinggal di perkotaan didominasi oleh masyarakat miskin. Inilah yang mengakibatkan degradasai lingkungan akibat banyaknya permukiman kumuh dan permukiman liar. Kondisi yang serupa dengan Nigeria juga dialami Indonesia. Bahkan di Indonesia, laju pertumbuhan permukiman kumuh 1,37 % pertahunnya.
Pemerintah Indonesia memang sudah berkomitmen dalam mengentaskan kemiskinan dan memberi kemudahan kepada masyarakat miskin untuk mengakses perumahan yang layak huni agar luas permukiman kumuh tidak bertambah dan semakin padat akibat ketidakmampuan masyarakat untuk mengakses perumahan.
Permasalahan di Indonesis hampir serupa dengan permasalahan di Nigeria, komitmen Pemerintah yang tidak dibarengi dengan kapasitas kelembagaan yang memadai mampu mengakibatkan kegagalan program penyediaan perumahan. Pemerintah sudah berupaya mengurangi backlog perumahan dan rumah yang tidak layak huni melalui kredit kepemilikan rumah. Tetapi, sama halnya dengan di Nigeria, persyaratan yang terkadang susah untuk dipenuhi oleh masyarakat miskin yang menjadikan program tidak serta merta berhasil. Seperti contoh FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan perumahan) sebagai kebijakan bantuan dalam mengakses rumah  kurang bisa menghimpun masyarakat miskin karena syarat mengajukan FLPP adalah nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Di Nigeria, pendekatan terhadap masyarakat dalam rangka mengajak masyarakat berpartisipasi dalam perwujudan perumahan berkelanjutan juga ada di Indonesia. Dimana penataan lingkungan dengan mengajak masyarakat diterapkan dalam program penataan lingkungan perumahan berbasis komunitas (PLP-BK) yang merupakan kelanjutan dari neighborhood development (ND) yang sudah lama diterapkan tetapi saat ini, komunitas penting dalam menentukan keberhasilan program-program pembangunan yang sudah diterapkan Pemerintah.
II.          KESIMPULAN
Masalah mengenai perumahan bukan hanya masalah individu saja tetapi sebagai masalah global dimana perlu pendekatan untuk mengurangi masalah kemiskinan. Pemerintah harus berkomitmen dalam mengurangi luas kawasan kumuh dan menekan pertumbuhannya melalui penyediaan perumahan yang dapat diakses masyarakat miskin. Kapasitas kelembagaan yang memadai dapat mempercepat keberhasilan program pembangunan.
Selain kapasitas lembaga yang memadai juga perlu peran masyarakat. Saat ini, pendekatan partisipatif digunakan untuk mencapai keberhasilan dalam pembangunan. Karena masyarakat mempunyai kapasitas dan kebutuhan yang berbeda sesuai dengan sosial budaya masyarakatnya. 



No comments:

Post a Comment