Sunday, November 18, 2012

Informal Settlements : Production and Intervention in Twentieth-Century Brazil and South Africa Oleh : Marie Huchzermeyer



Pendahuluan
Permukiman informal (favelas) di Brazil terbentuk akibat ketidakmampuan sistem ekonomi politik dalam memberikan pelayanan terhadap penduduk perkotaan. Sehingga terdapat pertanyaan yang berkaitan dengan respon masyarakat terhadap bentuk spasial perkotaan.  Lalu bagaimana respon tersebut diubah dalam intervensi kebijakan, dan bagaimana hal ini pada gilirannya mengizinkan adanya permukiman informal. Persamaan dan perbedaan antara kebijakan dan keberadaan  permukiman informal di Afrika Selatan dan Brazil adalah penyediaan yang terikat pada bentuk spasial perkotaan dan intervensi kebijakan.
Persamaan yang besar adalah rangkaian politik dan ekonomi di Brazil dan Afrika Selatan dimana bentuk kontur terhadap permukiman informal. Lawrence’s (1994) menyatakan bahwa perbedaan antara African National Congress (ANC) di Afrika Selatan dan Partido dos Trabalhadores (persatuan para pekerja) di Brazil adalah perbedaan kedua negara dalam menerjemahkan struktur kolonial dan nilai pada abad 20 dan mengemukakan bahwa ekspor dapat mendukung pertumbuhan ekonomi. Kopi dari brazil mendominasi ekspor pada tahun 1901, mencapai 53 persen dari total ekspor sebesar 1908. Pada saat itu, Brasil menghasilkan 77 persen dari kopi dunia (Burns ,1970:216). Di Afrika Selatan, penemuan berlian memberi dampak pada perekonomian (Webb,1983:171) , khususnya ekonomi dari sektor geografi pada pertengahan abad 19.(Lester,2000:7). Akan tetapi produksi emas lebih signifikan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi besar-besaran, karena dari tahun 1917 hingga 1939 emas mendominasi ekspor Afrika Selatan hingga 60 % keseluruhan ekspor dan mencapai 72% total ekspor pada tahun 1939. Sedangkan ekspor tertinggi berlian hanya mencapay 13,2% total ekspor pada tahun 1925.
Perekonomian Brazil dan Afrika Selatan menghasilkan disparitas ekonomi wilayah dan kesenjangan sosial. Sektor potensial membentuk bagian dari pasar global sehingga menimbulkan dampak disparitas dan penurunan perekonomian untuk  rural periphery atau semirural periphery. Di Brazil, perekonomian dari kopi hanya berkembang di coffee triangle, yaitu São Paulo, Minas Gerais, and Rio de Janeiro (Burns, 1970: 220). Sedangkan di Afrika Selatan, perekonomian berpusat pada Provinsi Gauteng, lokasi terletaknya Johannesburg. Pasca perang di Brazil dan Afrika Selatan, terjadi penerapan liberalisari  (khususnya untuk menga-upgrade permukiman informal)
Berdasarkan pendapatan perkapita Brazil dan Afrika Selatan, keduanya termasuk dalam middle-income countries karena kesenjangan dalam menumbuhkan perekonomian pada abad 20. Pendapatan perkapita seharusnya merata pada setiap penduduk (distribusi kekayaan). Berdasarkan koefisien Gini, disparitas distribusi kekayaan ditunjukkan dari hanya 10% populasi penduduk yang mempunyai pendapatan sebesar setengah dari pendapatan nasional (GNP) dan meninggalkan sebagian besar penduduk miskin (UNCHS, 1996).
Besarnya urbanisasi di Brazil mengakibatkan kehidupan penduduk miskin yang tinggal di kota. Melalui kebijakan pemerataan pendapatan, tidak termasuk akses ke permukiman formal mengakibatkan penduduk Brazil banyak yang tinggal di kawasan kumuh dan ilegal di pinggiran kota. Di kota-kota di Afrika Selatan, para pekerja yang merupakan migran tinggal di permukiman informal liar. Di Brazil, permukiman informal terdapat di São Paulo and Belo Horizonte, yang hampir 20% populasi penduduknya tinggal di favelas.  Kota-Kota di Afrika Selatan juga mengalami hal yang sama, contohnya Cape Town yang 10% penduduknya tinggal di permukiman informal dan presentasenya mengalami peningkatan secara pasti.

Munculnya Permukiman Informal
Permukiman informal muncul pada lahan yang bukan miliknya dan dibangun semacam shelter untuk tempat tinggal. Hal ini mencadi ciri lansekap di Brazil dan Afrika Selatan sejak abad 19. Di pusat kota Brazil, Rio de Janeiro dan pusat kota Afrika Selatan, munculnya permukiman informal dikaitkan dengan penghapusan perbudakan  dan integrasi sistem sosial ekonomi seperti akses kepemilikan lahan. Implementasi pola distribusi lahan, kepemilikan, dan kebijakan menghasilkan pola yang berbeda dalam permukiman informal di kedua negara tersebut. Undang-undang yang mengatur tentang akses lahan di Brazil adalah Civil Code of 1916 tentang hak mutlak untuk kepemilikan lahan secara pribadi sehingga ada kecenderungan tumbuhnya permukiman informal. Sedangkan di Afrika Selatan, akses lahan didominasi oleh warga kulit putih (pada abad 20) melalui ekspansi lahan. The 1913 Land Act menunjukkan adanya pemisahan yang nyata antara kulit putih dan pribumi dimana warga pribumi tidak dapat mengakses lahan. Dominasi ras putih di Brasil diperkuat oleh undang-undang tanah perkotaan.
Sebagian besar kota-kota di Brazil merupakan kota yang tidak terencana pada tahun 1960an., meskipun sudah terdapat upaya transport planning. Di bawah kontrol GetúlioVargas, ada upaya urban land-use  planning termasuk zonasi penggunaan lahan sebagai upaya preventif untuk mencegah munculnya permukiman informal atau favelas. Vargas, pemimpin Brasil pertama memanfaatkan dukungan kelas pekerja bukan kaum elit dan kelas menengah. Dia memperkenalkan Undang-Undang Tenaga Kerja dan franchise untuk wanita. Negara menjamin perlindungan, kelas pekerja di masa populis  sebelum tahun 1964.
Kebijakan Vargas ditujukan pada kebutuhan kelas pekerja termasuk sebuah dekrit yang mengatur penjualan tanah kepada orang-orang yang berpenghasilan rendah di jalan lingkar perkotaan, sistem pinjaman rumah dan program perumahan bersubsidi (Bonduki,1994:100-101). Dalam Konstitusi 1934, Vargas memperkenalkan konsep social function of property yang menyerahkan penggunaan private property untuk kepentingan sosial masyarakat (Fernandes dan Rolnik, 1998: 145). Selain itu, juga kebijakan yang mengatur kontrol sewa lahan. Akan tetapi, kebijakan ini tidak menguntungkan untuk penduduk berpenghasilan rendah karena adanya investasi sektor swasta untuk sektor industri. Sehingga terjadi penurunan penyediaan kaveling rumah dan bertambahnya penduduk desa yang pindah ke kota mengakibatkan urban periphery semakin luas  serta kembali munculnya permukiman informal.
Di Afrika Selatan, tekanan industrialisasi juga mengakibatkan munculnya pemukiman informal di tahun 1940-an. Pemukiman informal cenderung berkembang luas pada periphery, berbeda dengan di Brazil, pemukiman menyebar sedikit.  Tidak adanya ketersediaan fasilitas untuk para buruh menngakibatkan adanya tuntutan untuk memfasilitasi pemenuhan kebutuhan buruh industri tanpa melihat politik apartheid meskipun banyak ditentang oleh kaum berkulit putih.
Pada tahun 1968 hingga tahun 1974, Brazil dan Afrika Selatan ditandai dengan banyaknya protes tentang penghapusan informal settlement di Rio de Janeiro, Cape Town, dan Durban. Kedua negara tersebut menghapus informal settlement dengan mengadakan uniform townships di Afrika Selatan dan perumahan untuk masuarakat berpenghasilan rendah melalui Brazil’s Banco Nacional da Habitação (National Housing Bank). Sementara pada tahap pertama apartheid, berlangsung melalui tahun 1950-an, diskriminasi rasial melalui ideologi supremasi putih, fase kedua (1960 ke pertengahan 1970-an) melanjutkan kontrol kaum kulit putih dengan konsep penentuan nasib ras sendiri. Adanya relokasi besar-besaran akibat urbanisasi dari desa ke kota mengakibatkan tekanan di kota yang belum pernah terjadi sebelumnya, terutama pada daerah sekitar rural yang merupakan daerah kommuter dari kota.
Cape Town mengalami keadaan sulit, seperti investasi rumah tangga yang berjarak 1.000 km dari basis ekonomi di kota. Hal ini dikarenakan adanya agregasi populasi berdasarkan warna kulit akhirnya memaksa negara untuk meninjau kebijakan urbanisasi. Populasi pedesaan dibuat berlebihan oleh kebijakan ekonomi, kemajuan teknologi, praktek kerja yang pedesaan dan pola land ownership. Terbentuknya Crossroads transit camp untuk squatters di Cape Town pada 1976 merupakan sebuah langkah awal dan bertahap dalam hal asasi di Afrika Selatan. Pada pertengahan tahun 1980, ada pemindahan Crossroads transit camp ke daerah luar periphery Cape Town. Akan tetapi berdampak pada meningkatnya kekerasan.
Daerah penyangga dibanguan di sekitar kota untuk ideological friction-prevention zones yang secara bertahap ditempati. Hasilnya adalah permukiman informal yang mengelilingai perumahan formal di Afrika Selatan. Permukiman informal di Brazil dan Afrika Selatan sejak pertengahan tahun 1970an sebagai tanda adanya pengakuan hak asasi. Sedangkan, continuities dalam distribusi pendapatan adil dan terkait dengan tingginya tingkat urbanisasi memberikan kontribusi terhadap bermunculannnya pemukiman informal baru di kedua negara pada abad ke-20, perubahan politik mengakibatkan sistem kelembagaan kurang represif dalam melakukan pendekatan untuk intervensi. Pada waktu selanjutnya, muncul pendekatan yang berbeda di Brazil dan Afrika Selatan dan berdampak pada kondisi permukiman informal.

Pekembangan dari Pendekatan Intervensi
Selama liberalisasi pasca perang di Brazil dan Afrika Selatan, masyarakat merespon perlindungan terhadap permukiman informal. Di Brazil, Vargas yang memberikan perlindungan terhadap kaum pekerja dimaksudkan untuk stabilitas politik. Akan tetapi itu hanya pada awal pemerintahan sebelum terjadinya kudeta pada hingga tahun 1964. Ketika populasi penduduk yang tinggal di permukiman informal meminta adanya manajemen terhadap komunitas favela melalui program pemerintah. Mengingat penduduk perlu disokong oleh Pemerintah, tetapi kondisi ini sering dijadikan sebagai kendaraan politik untuk mendukung pemerintahan.
Di Afrika Selatan, larangan diskriminasi ras mengakibatkan adanya gerakan dan perlindungan permukiman informal yang menganalisis dinamika informal pemukiman di Johannesburg dari 1944 hingga 1947, berbicara tentang gerakan permukiman informal yang didorong oleh pemimpin individu, mobilisasi ini terdiri dari perekrutan oleh pemimpin, terkadang bergaya otoriter, invasi kolektif lahan, dan pemeliharaan otonomi. Otonomi dibuat oleh kepadatan penduduk dan kewenangan yang dilaksanakan oleh pemimpin. Sedangkan gerakan favela diBrazil didukung oleh partai-partai politik dan dukungan Gereja Katolik. Gerakan masyarakat squatter Afrika Selatan menghindari dua partai politik utama yaitu ANC dan Partai Komunis. Di Brazil dominasi Gereja Katolik dalam memerdekakan negara sejak 1889 meskipun negara tetap mempertahankan kekuasaan melaui dukungan masyarakat dalam oposisi. Sementara ANC terus membujuk untuk meneruskan nilai-nilai Kristiani untuk membangun komunitas politik secara lebih luas. Tetapi di Afrika Selatan tidak diizinkan Gereja Katolik memainkan peran seperti di Brazil.
Di Brazil, Gerakan permukiman informali diperluas melalui Pastoral de Favelas yang melaksanakan tanggung jawab untuk menyejahterakan penduduk melalui komunitas basis Kristiani. Setelah tahun 1974, partai politik, persatuan, Serikat Pekerja dan Kolompok profesional mengambil alih peran politik. Secara paralel dengan gerakan politik yang tercermin oleh pembentukan PT, perkotaan gerakan reformasi diciptakan pada awal 1980-an sebagai mitra perkotaan untuk gerakan reformasi agraria.Gerakan ini, yang membawa bersama-sama populer dan profesional entitas nasional, mempengaruhi proses reformasi konstitusional. Selain instrumen lainnya perkotaan keadilan sosial, dipromosikan pemulihan bermakna konsep fungsi sosial dari properti.
Di Afrika Selatan tekanan untuk reformasi perkotaan berasal dari dua kubu. Di satu sisi, sektor bisnis kaum berkulit putih  telah menciptakan Yayasan Urban pada 1976 dalam menanggapi ketidakstabilan yang dipicu oleh pembantaian brutal polisi dalam memprotes sekolah di Soweto, Johannesburg. Inisiatif pribadi-sektor didanai denganmelakukan riset yang berorientasi pada kebijakan urbanisasi (termasuk penyelesaian permukiman informal) serta tentang situs dan layanan dengan judul freehold sebagai solusi untuk krisis perumahan perkotaan. Di sisi lain, gerakan sipil muncul di kota-kota di Afrika akhir tahun 1970an melalui United Democratic Front untuk memperjuangkan perubahan permukiman formal ke informal. Gerakan sipil mengembangkan sendiri ideologi dan konsep jangka panjang untuk pembangunan, tahun 1980an itu terutama diperlukan untuk menanggapi keadaan boikot untuk mendirikan alternatif struktur pemerintahan. Pengembangan konsep, meskipun rapuh, yang dimasukkan oleh gerakan sipil dari pertengahan 1980an agar 1990an yang berpusat pada demokrasi dan modifikasi kebutuhan dasar termasuk lahan dan perumahan). Hal ni kontras berbeda dengan gerakan populer Brasil, yang menuntut individu memiliki hak untuk ownership.
Di Brazil, adanya desentralisasi kekuasaan politik, dengan dukungan dari sektor neoliberal telah menyebabkan bahwa kebijakan mengenai favelas sebagian besar berlangsung di tingkat subnasional. Pendekatan intervensi satu kota ke kota yang lain mungkin berbeda dan memungkinkan untuk mengembangkan dan mereplikasi demokratis di setiap kota. Bagaimanapun juga tidak ada sistem desentralisasi sektor perumahan yang merupakan batasan kewajiban pemerintah daerah dalam memenuhi perumahan. Sebaliknya, sistem birokrasi terpusat pada sektor perumahan menghambat pemanfaatan dana perumahan nasional. Karena tidak adanya keuangan perumahan sebagai kewajiban politik jangka panjang. Pada dasarnya intervensi Pemerintah adalah respon atas permintaan Pemerintah Daerah dalam rangka subsidi pada permukiman yang terpilih.
Tantangan dalam intervensi favela di Brasil adalah meningkatnya peredaran narkoba di favelas sehingga sulit dalam mengontrol dan memberi perlindungan atas penduduk favelas, terutama di kota Rio de Janeiro. Dalam transisi pemerintahan di Afrika Selatan, distribusi kekuasaan menyebabkan perdebatan atas desentralisasi. Masyarakat minoritas menginginkan adanya desentralisasi, karena itu diberlakukan otonomi pemerintah daerah sebagai sarana untuk melindungi hak minoritas. ANC dianggap sebagai pemerintahan pusat yang kuat, yang berkuasa untuk campur tangan langsung dalam urusan-urusan pemerintah lokal, yang diperlukan untuk mewujudkan hak seperti perumahan. Kebijakan perumahan terpusat dengan program subsidi sebagai modal standar yang diajukan oleh Yayasan Urban.
Pemerintah Afrika Selatan menganggap fungsi subsidi dalam program pemerintah yang lebih bertujuan mengurangi disparitas. Kebijakan makroekonomi neoliberal diadopsi pada tahun 1996 dan berperan yang lebih sederhana untuk semua tingkatan pemerintah. Kebijakan perumahan terpusat memberikan hak kepada rumah tangga berpendapatan rendah subsidi modal. Intervensi permukiman informal perkotaan  di Afrika Selatan tetap didorong oleh standar dan subsidi  modal individual. Subsidi tersebut dirancang untuk produksi wilayah perumahan baru, perkembangan peripherally terletak pada capital-subsidy . Semakin sering intervensi informal-settlement di Afrika Selatan yaitu pemindahan seluruh populasi untuk kontrak baru , pembangunan capital-subsidy besar di pinggiran kota .
Interpretations Of Division And Exclusion:
Diverging Ideological Bases For Intervention
Di Brazil dan Afrika Selatan, Divisi sosial diperlukan untuk memberi hak-hak istimewa seperti akses formal lahan dan perumahan. Di Brazil, instrumen dominan dalam divisi sosial adalah  pembentukan kelas dan dii Afrika Selatan itu kontrol rasial. Keberadaan Divisi sosial di Brasil konsisten dalam menyelesaikan masalah kelas yang lebih dari satu ras. Kelompok kelas Elite di Brazil telah menanggapi adanya pemberontakan budak dan ancaman terhadap pemisahan kulit hitam penduduk Afrika dari komunitas penduduk Brazil. Tetapi pada saat yang sama, negara bagian Brasil mempromosikan upaya mempersatukan penduduk rasial. Dengan demikian , para intelektual Brazil pada awal abad ke-20 menolak adanya doktrin rasis. Di afrika selatan kerangka hukum rasial tersebut yang diatur kecuali yang berhubungan dengan pasar atau kekuatan kapitalis yang membentuk bentuk kelas sosial pada setiap divisi yang mendiskriminasi orang kulit hitam. Di lain pihak, kaum berkulit hitam muncul dalam masyarakat melalui industrialisasi pada tahun 1940. Namun, adanya hak selektif menyebabkan perpecahan antara penduduk Afrika kota antara elite perkotaan dengan masyarakat yang tinggal di permukiman informal urban. Perbedaan hak tersebut terlihat dari jenis akomodasi perkotaan antara perumahan sewa untuk keluarga dan pekerja, hostel, dan berbagai bentuk akomodasi ilegal termasuk pemukiman informal.
Pada 1980-an polarisasi sosio-spasial di negara Afrika Selatan sebagai sarana untuk mendapatkan kontrol atas gerakan antiapartheid. Kekuatan pasar pada 1980-an yang kemudian juga menyebabkan penurunan permintaan pekerjaan yang mengakibatkan penurunan upah, berbeda dengan gerakan masyarakat Afrika semiskilled dan terampil pekerjaan. Hal ini menyebabkan semakin terlihat adanya kesenjangan sosial karena diskriminasi ras. Pengertian tentang ras dan kelas berbeda telah diterapkan oleh negara-negara Afrika Selatan dan Brazil untuk membuat perbedaan dalam strategi dan interpretasi antara kedua.
Di Brazil ada kesadaran intelektual bahwa penyebab utama kekurangan dan pemiskinan adalah eksploitasi kelas pekerja, kurang efisien dan terjangkaunya transportasi, dan kelalaian dalam penyediaan perumahan. Hal ini mengakibatkan adanya ketergantungan terhadap sumber daya dalam memperoleh lahan untuk perumahan. Di Afrika Selatan, adanya analisis kritis dan sensitif terhadap pertanyaan-pertanyaan mengenai ras, etnis, dan identitas yang menimbulkan situasi Afrika Selatan yang kurang kondusif.
Favelas di brazil dan pemukiman informal di afrika selatan yang dihasilkan melalui proses pembangunan yang tidak merata pada abad 20. Permukiman Informal terbentuk secara berbeda di kedua negara. Intervensi kebijakan kedua negara sejak tahun 1970an sudah setengah menyimpang di Brazil, desentralisasi kekuasaan kepada pemerintah daerah menyebabkan eksplorasi pendekatan demokrasi. Persaingan politik yang ketat di tingkat lokal, dalam konteks sumber daya yang terbatas, memerlukan konsentrasi berkelanjutan dan praktek perlindungan politik. Tantangan di Brazil adalah menentukan nasib demokrasi partisipatoris terhadap pembangunan oleh gerakan-gerakan sosial yang independen serta dilengkapi dengan permintaan untuk peningkatan efisiensi dan demokratisasi struktur nasional, terutama yang berhubungan dengan keuangan dan hukum di tingkat lokal. Di Afrika Selatan, tantangan saat ini pemukiman informal dipahami secara umum sebagai kebutuhan untuk memberikan jumlah unit perumahan standar secara nasional melalui sistem perumahan subsidi, yang terinspirasi oleh permintaan Urban Foundation. Meskipun memudarnya komitmen untuk penyerahan tersebut oleh pemerintah nasional (tercermin dalam pemotongan anggaran perumahan), hak ini terus untuk mencegah gerakan rakyat dan para profesional dengan mengeksplorasi responsif bentuk intervensi informal settlement yang akan menampung inisiatif, selfdetermination atau demokrasi partisipatoris di tingkat lokal. Intervensi untuk mendukung adanya penyelesaian gerakan informal, dan menekan perubahan kebijakan lain yang mempengaruhi situasi penyelesaian gerakan  informal, diantaranya distribusi pendapatan. Interpretasi lain melihat fenomena informal pemukiman tak terkendali sebagai ancaman terhadap keamanan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat formal, terutama kelas menengah (posisi unsur-unsur konservatif dari masyarakat Brasil dan Afrika Selatan). Intervensinya berupa penggusuran dan relokasi ke daerah periphery

Kesimpulan
Terdapat interpretasi yang berbeda mengenai pengklasifikasian golongan masyarakat di Brazil dan di Afrika Selatan. Hal ini mengakibatkan perbedaan dalam penerapan intervensi terhadap sektor permukiman informal yang muncul akibat ketidaksediaan Pemerintah dalam menyuplai kebutuhan perumahan sebagai kebutuhan dasar kehidupan. Terdapat banyak gerakan yang berusaha tetap mempertahankan permukiman informal karena anggapan bahwa adanya permukiman informal merupakan jawaban terhadap kebutuhan  manusia. Selain itu juga, permukiman informal muncul sebagai bentuk ketidaksiapan sistem politik ekonomi yang berlaku dalam membantu menyediakan kemudahan akses ke perumahan.
Pemerintah Brazil dan Afrika Selatan berupaya mempermudah akses masyarakat dengan menyediakan program subsidi perumahan dan menyediakan perumahan sewa untuk golongan ekonomi menengah ke bawah. Sehingga diharapkan munculnya permukiman informal khususnya di daerah periphery sebagai  akibat berlebihan dari migrasi masyarakat desa ke kota dapat berkurang dengan adanya program dari Pemerintah.

3 comments:

  1. mba punya video dokumenter tentang favelas gak?

    ReplyDelete
  2. Maaf Mas Aljunaid Bakari, saya ga punya video dokumenter tentang favelas,

    ReplyDelete
  3. mbak, bisa tolong disebutkan sumbernya?

    ReplyDelete