Pendahuluan
Permukiman informal (favelas) di Brazil terbentuk akibat
ketidakmampuan sistem ekonomi politik dalam memberikan pelayanan terhadap
penduduk perkotaan. Sehingga terdapat pertanyaan yang berkaitan dengan respon masyarakat terhadap bentuk spasial perkotaan. Lalu bagaimana respon tersebut diubah dalam
intervensi kebijakan, dan bagaimana hal ini pada gilirannya mengizinkan adanya permukiman
informal. Persamaan dan perbedaan antara kebijakan dan keberadaan permukiman informal di Afrika Selatan dan
Brazil adalah penyediaan yang terikat pada bentuk spasial perkotaan dan
intervensi kebijakan.
Persamaan yang besar
adalah rangkaian politik dan ekonomi di Brazil dan Afrika Selatan dimana bentuk
kontur terhadap permukiman informal. Lawrence’s (1994) menyatakan bahwa
perbedaan antara African National Congress (ANC) di Afrika Selatan dan Partido
dos Trabalhadores (persatuan para pekerja) di Brazil adalah perbedaan kedua
negara dalam menerjemahkan struktur kolonial dan nilai pada abad 20 dan
mengemukakan bahwa ekspor dapat mendukung pertumbuhan ekonomi. Kopi dari brazil
mendominasi ekspor pada tahun 1901, mencapai 53 persen dari total ekspor
sebesar 1908. Pada saat itu, Brasil menghasilkan 77 persen dari kopi dunia (Burns
,1970:216). Di Afrika Selatan, penemuan berlian memberi dampak pada perekonomian
(Webb,1983:171) , khususnya ekonomi dari sektor geografi pada pertengahan abad
19.(Lester,2000:7). Akan tetapi produksi emas lebih signifikan berpengaruh pada
pertumbuhan ekonomi besar-besaran, karena dari tahun 1917 hingga 1939 emas
mendominasi ekspor Afrika Selatan hingga 60 % keseluruhan ekspor dan mencapai
72% total ekspor pada tahun 1939. Sedangkan ekspor tertinggi berlian hanya
mencapay 13,2% total ekspor pada tahun 1925.
Perekonomian Brazil
dan Afrika Selatan menghasilkan disparitas ekonomi wilayah dan kesenjangan
sosial. Sektor potensial membentuk bagian dari pasar global sehingga
menimbulkan dampak disparitas dan penurunan perekonomian untuk rural periphery atau semirural periphery. Di
Brazil, perekonomian dari kopi hanya berkembang di coffee triangle, yaitu São Paulo, Minas Gerais, and Rio de Janeiro
(Burns, 1970: 220). Sedangkan di Afrika Selatan, perekonomian berpusat pada
Provinsi Gauteng, lokasi terletaknya Johannesburg. Pasca perang di Brazil dan
Afrika Selatan, terjadi penerapan liberalisari
(khususnya untuk menga-upgrade
permukiman informal)
Berdasarkan
pendapatan perkapita Brazil dan Afrika Selatan, keduanya termasuk dalam middle-income countries karena
kesenjangan dalam menumbuhkan perekonomian pada abad 20. Pendapatan perkapita
seharusnya merata pada setiap penduduk (distribusi kekayaan). Berdasarkan
koefisien Gini, disparitas distribusi kekayaan ditunjukkan dari hanya 10%
populasi penduduk yang mempunyai pendapatan sebesar setengah dari pendapatan
nasional (GNP) dan meninggalkan sebagian besar penduduk miskin (UNCHS, 1996).
Besarnya urbanisasi
di Brazil mengakibatkan kehidupan penduduk miskin yang tinggal di kota. Melalui
kebijakan pemerataan pendapatan, tidak termasuk akses ke permukiman formal
mengakibatkan penduduk Brazil banyak yang tinggal di kawasan kumuh dan ilegal
di pinggiran kota. Di kota-kota di Afrika Selatan, para pekerja yang merupakan
migran tinggal di permukiman informal liar. Di Brazil, permukiman informal
terdapat di São Paulo and Belo Horizonte, yang hampir 20% populasi penduduknya
tinggal di favelas. Kota-Kota di Afrika Selatan juga mengalami hal
yang sama, contohnya Cape Town yang 10% penduduknya tinggal di permukiman
informal dan presentasenya mengalami peningkatan secara pasti.
Munculnya Permukiman Informal
Permukiman informal
muncul pada lahan yang bukan miliknya dan dibangun semacam shelter untuk tempat
tinggal. Hal ini mencadi ciri lansekap di Brazil dan Afrika Selatan sejak abad
19. Di pusat kota Brazil, Rio de Janeiro dan pusat kota Afrika Selatan,
munculnya permukiman informal dikaitkan dengan penghapusan perbudakan dan integrasi sistem sosial ekonomi seperti
akses kepemilikan lahan. Implementasi pola distribusi lahan, kepemilikan, dan
kebijakan menghasilkan pola yang berbeda dalam permukiman informal di kedua
negara tersebut. Undang-undang yang mengatur tentang akses lahan di Brazil
adalah Civil Code of 1916 tentang hak mutlak untuk kepemilikan lahan secara
pribadi sehingga ada kecenderungan tumbuhnya permukiman informal. Sedangkan di
Afrika Selatan, akses lahan didominasi oleh warga kulit putih (pada abad 20)
melalui ekspansi lahan. The 1913 Land Act menunjukkan adanya pemisahan yang
nyata antara kulit putih dan pribumi dimana warga pribumi tidak dapat mengakses
lahan. Dominasi ras putih di Brasil diperkuat oleh undang-undang tanah
perkotaan.
Sebagian besar
kota-kota di Brazil merupakan kota yang tidak terencana pada tahun 1960an.,
meskipun sudah terdapat upaya transport planning. Di bawah kontrol GetúlioVargas,
ada upaya urban land-use planning termasuk zonasi penggunaan lahan
sebagai upaya preventif untuk mencegah munculnya permukiman informal atau favelas. Vargas, pemimpin Brasil pertama
memanfaatkan dukungan kelas pekerja bukan kaum elit dan kelas menengah. Dia
memperkenalkan Undang-Undang Tenaga Kerja dan franchise untuk wanita. Negara menjamin
perlindungan, kelas pekerja di masa populis
sebelum tahun 1964.
Kebijakan Vargas ditujukan pada
kebutuhan kelas pekerja termasuk sebuah dekrit yang mengatur penjualan tanah
kepada orang-orang yang berpenghasilan rendah di jalan lingkar perkotaan,
sistem pinjaman rumah dan program perumahan bersubsidi (Bonduki,1994:100-101).
Dalam Konstitusi 1934, Vargas memperkenalkan konsep social function of property yang menyerahkan penggunaan private property untuk kepentingan
sosial masyarakat (Fernandes dan Rolnik, 1998: 145). Selain itu, juga kebijakan
yang mengatur kontrol sewa lahan. Akan tetapi,
kebijakan ini tidak menguntungkan untuk penduduk berpenghasilan rendah karena
adanya investasi sektor swasta untuk sektor industri. Sehingga terjadi
penurunan penyediaan kaveling rumah dan bertambahnya penduduk desa yang pindah
ke kota mengakibatkan urban periphery semakin
luas serta kembali munculnya permukiman
informal.
Di
Afrika Selatan, tekanan industrialisasi juga mengakibatkan munculnya pemukiman
informal di tahun 1940-an. Pemukiman informal cenderung berkembang luas pada periphery,
berbeda dengan di Brazil, pemukiman menyebar sedikit. Tidak adanya ketersediaan fasilitas untuk para
buruh menngakibatkan adanya tuntutan untuk memfasilitasi pemenuhan kebutuhan
buruh industri tanpa melihat politik apartheid meskipun banyak ditentang oleh
kaum berkulit putih.
Pada
tahun 1968 hingga tahun 1974, Brazil dan Afrika Selatan ditandai dengan
banyaknya protes tentang penghapusan informal
settlement di Rio de Janeiro, Cape Town, dan Durban. Kedua negara tersebut
menghapus informal settlement dengan
mengadakan uniform townships di
Afrika Selatan dan perumahan untuk masuarakat berpenghasilan rendah melalui Brazil’s
Banco Nacional da Habitação (National
Housing Bank). Sementara pada tahap pertama apartheid, berlangsung melalui
tahun 1950-an, diskriminasi rasial melalui ideologi supremasi putih, fase kedua
(1960 ke pertengahan 1970-an) melanjutkan kontrol kaum kulit putih dengan
konsep penentuan nasib ras sendiri. Adanya relokasi besar-besaran akibat
urbanisasi dari desa ke kota mengakibatkan tekanan di kota yang belum pernah
terjadi sebelumnya, terutama pada daerah sekitar rural yang merupakan daerah
kommuter dari kota.
Cape Town mengalami keadaan sulit,
seperti investasi rumah tangga yang berjarak 1.000 km dari basis ekonomi di
kota. Hal ini dikarenakan adanya agregasi populasi berdasarkan warna kulit akhirnya
memaksa negara untuk meninjau kebijakan urbanisasi. Populasi pedesaan dibuat
berlebihan oleh kebijakan ekonomi, kemajuan teknologi, praktek kerja yang
pedesaan dan pola land ownership. Terbentuknya Crossroads transit
camp untuk squatters di Cape Town pada 1976 merupakan sebuah langkah awal
dan bertahap dalam hal asasi di Afrika Selatan. Pada pertengahan tahun 1980,
ada pemindahan Crossroads transit camp ke
daerah luar periphery Cape Town. Akan tetapi berdampak pada meningkatnya
kekerasan.
Daerah penyangga dibanguan di
sekitar kota untuk ideological
friction-prevention zones yang secara bertahap ditempati. Hasilnya adalah
permukiman informal yang mengelilingai perumahan formal di Afrika Selatan.
Permukiman informal di Brazil dan Afrika Selatan sejak pertengahan tahun 1970an
sebagai tanda adanya pengakuan hak asasi. Sedangkan, continuities dalam distribusi pendapatan adil dan terkait dengan
tingginya tingkat urbanisasi memberikan kontribusi terhadap bermunculannnya pemukiman
informal baru di kedua negara pada abad ke-20, perubahan politik mengakibatkan
sistem kelembagaan kurang represif dalam melakukan pendekatan untuk intervensi.
Pada waktu selanjutnya, muncul pendekatan yang berbeda di Brazil dan Afrika
Selatan dan berdampak pada kondisi permukiman
informal.
Pekembangan dari Pendekatan Intervensi
Selama liberalisasi pasca perang
di Brazil dan Afrika Selatan, masyarakat merespon perlindungan terhadap
permukiman informal. Di Brazil, Vargas yang memberikan perlindungan terhadap
kaum pekerja dimaksudkan untuk stabilitas politik. Akan tetapi itu hanya pada
awal pemerintahan sebelum terjadinya kudeta pada hingga tahun 1964. Ketika
populasi penduduk yang tinggal di permukiman informal meminta adanya manajemen
terhadap komunitas favela melalui
program pemerintah. Mengingat penduduk perlu disokong oleh Pemerintah, tetapi
kondisi ini sering dijadikan sebagai kendaraan politik untuk mendukung
pemerintahan.
Di Afrika Selatan, larangan
diskriminasi ras mengakibatkan adanya gerakan dan perlindungan permukiman
informal yang menganalisis dinamika informal pemukiman di Johannesburg dari
1944 hingga 1947, berbicara tentang gerakan permukiman informal yang didorong
oleh pemimpin individu, mobilisasi ini terdiri dari perekrutan oleh pemimpin,
terkadang bergaya otoriter, invasi kolektif lahan, dan pemeliharaan otonomi.
Otonomi dibuat oleh kepadatan penduduk dan kewenangan yang dilaksanakan oleh
pemimpin. Sedangkan gerakan favela diBrazil didukung oleh partai-partai politik
dan dukungan Gereja Katolik. Gerakan masyarakat squatter Afrika Selatan
menghindari dua partai politik utama yaitu ANC dan Partai Komunis. Di Brazil
dominasi Gereja Katolik dalam memerdekakan negara sejak 1889 meskipun negara
tetap mempertahankan kekuasaan melaui dukungan masyarakat dalam oposisi. Sementara
ANC terus membujuk untuk meneruskan nilai-nilai Kristiani untuk membangun
komunitas politik secara lebih luas. Tetapi di Afrika Selatan tidak diizinkan
Gereja Katolik memainkan peran seperti di Brazil.
Di Brazil, Gerakan permukiman
informali diperluas melalui Pastoral de
Favelas yang melaksanakan tanggung jawab untuk menyejahterakan penduduk
melalui komunitas basis Kristiani. Setelah tahun 1974, partai politik,
persatuan, Serikat Pekerja dan Kolompok profesional mengambil alih peran
politik. Secara paralel dengan gerakan politik yang tercermin oleh pembentukan
PT, perkotaan gerakan reformasi diciptakan pada awal 1980-an sebagai mitra
perkotaan untuk gerakan reformasi agraria.Gerakan ini, yang membawa
bersama-sama populer dan profesional entitas nasional, mempengaruhi proses
reformasi konstitusional. Selain instrumen lainnya perkotaan keadilan sosial,
dipromosikan pemulihan bermakna konsep fungsi sosial dari properti.
Di Afrika Selatan tekanan untuk reformasi perkotaan berasal dari dua
kubu. Di satu sisi, sektor bisnis kaum berkulit putih telah menciptakan Yayasan Urban pada 1976
dalam menanggapi ketidakstabilan yang dipicu oleh pembantaian brutal polisi
dalam memprotes sekolah di Soweto, Johannesburg. Inisiatif pribadi-sektor
didanai denganmelakukan riset yang berorientasi pada kebijakan urbanisasi
(termasuk penyelesaian permukiman informal) serta tentang situs dan layanan
dengan judul freehold sebagai solusi
untuk krisis perumahan perkotaan. Di sisi lain, gerakan sipil muncul di kota-kota
di Afrika akhir tahun 1970an melalui United
Democratic Front untuk memperjuangkan perubahan permukiman formal ke
informal. Gerakan sipil mengembangkan sendiri ideologi dan konsep jangka
panjang untuk pembangunan, tahun 1980an itu terutama diperlukan untuk
menanggapi keadaan boikot untuk mendirikan alternatif struktur pemerintahan.
Pengembangan konsep, meskipun rapuh, yang dimasukkan oleh gerakan sipil dari
pertengahan 1980an agar 1990an yang berpusat pada demokrasi dan modifikasi
kebutuhan dasar termasuk lahan dan perumahan). Hal ni kontras berbeda dengan gerakan
populer Brasil, yang menuntut individu memiliki hak untuk ownership.
Di
Brazil, adanya desentralisasi kekuasaan politik, dengan dukungan dari sektor
neoliberal telah menyebabkan bahwa kebijakan mengenai favelas sebagian besar
berlangsung di tingkat subnasional. Pendekatan intervensi satu kota ke kota
yang lain mungkin berbeda dan memungkinkan untuk
mengembangkan dan mereplikasi demokratis di setiap kota. Bagaimanapun juga
tidak ada sistem desentralisasi sektor perumahan
yang merupakan batasan kewajiban pemerintah daerah dalam memenuhi perumahan. Sebaliknya, sistem birokrasi terpusat pada sektor perumahan
menghambat pemanfaatan dana perumahan nasional. Karena tidak adanya keuangan perumahan sebagai
kewajiban politik jangka panjang. Pada dasarnya
intervensi Pemerintah adalah respon atas permintaan Pemerintah Daerah dalam
rangka subsidi pada permukiman yang terpilih.
Tantangan
dalam intervensi favela di Brasil adalah meningkatnya peredaran narkoba di favelas sehingga
sulit dalam mengontrol dan memberi perlindungan atas penduduk favelas, terutama
di kota Rio de Janeiro. Dalam transisi pemerintahan
di Afrika Selatan, distribusi kekuasaan menyebabkan perdebatan atas
desentralisasi. Masyarakat minoritas menginginkan adanya desentralisasi, karena
itu diberlakukan otonomi pemerintah daerah sebagai sarana untuk melindungi hak
minoritas. ANC dianggap sebagai pemerintahan pusat yang kuat, yang berkuasa
untuk campur tangan langsung dalam urusan-urusan pemerintah lokal, yang
diperlukan untuk mewujudkan hak seperti perumahan. Kebijakan
perumahan terpusat dengan program subsidi sebagai modal standar yang diajukan
oleh Yayasan Urban.
Pemerintah
Afrika Selatan menganggap fungsi subsidi dalam program pemerintah yang lebih
bertujuan mengurangi disparitas. Kebijakan makroekonomi neoliberal diadopsi
pada tahun 1996 dan berperan yang lebih
sederhana untuk semua tingkatan pemerintah. Kebijakan perumahan terpusat
memberikan hak kepada rumah tangga berpendapatan rendah subsidi modal.
Intervensi permukiman informal perkotaan di Afrika Selatan tetap didorong oleh
standar dan subsidi modal individual. Subsidi tersebut dirancang
untuk produksi wilayah perumahan baru, perkembangan peripherally terletak pada capital-subsidy . Semakin sering
intervensi informal-settlement di Afrika
Selatan yaitu pemindahan seluruh populasi untuk kontrak baru , pembangunan
capital-subsidy besar di pinggiran kota .
Interpretations Of Division And Exclusion:
Diverging Ideological Bases
For Intervention
Di
Brazil dan Afrika Selatan, Divisi sosial diperlukan untuk memberi hak-hak
istimewa seperti akses formal lahan dan perumahan. Di Brazil, instrumen dominan
dalam divisi sosial adalah pembentukan kelas dan dii Afrika
Selatan itu kontrol rasial. Keberadaan Divisi sosial di Brasil konsisten dalam
menyelesaikan masalah kelas yang lebih dari satu ras. Kelompok
kelas Elite di Brazil telah menanggapi adanya pemberontakan budak dan ancaman terhadap pemisahan kulit hitam penduduk
Afrika dari komunitas penduduk Brazil. Tetapi pada saat yang sama, negara
bagian Brasil mempromosikan upaya mempersatukan penduduk rasial. Dengan
demikian , para intelektual Brazil pada awal abad ke-20 menolak adanya doktrin rasis. Di afrika selatan
kerangka hukum rasial tersebut yang diatur kecuali yang berhubungan dengan pasar
atau kekuatan kapitalis yang membentuk bentuk kelas sosial pada setiap divisi
yang mendiskriminasi orang kulit hitam. Di lain pihak, kaum berkulit hitam
muncul dalam masyarakat melalui industrialisasi pada tahun 1940. Namun, adanya hak selektif menyebabkan
perpecahan antara penduduk Afrika kota antara elite perkotaan dengan masyarakat
yang tinggal di permukiman informal urban. Perbedaan hak tersebut terlihat dari
jenis akomodasi perkotaan antara perumahan sewa untuk keluarga dan pekerja, hostel,
dan berbagai bentuk akomodasi ilegal termasuk pemukiman informal.
Pada 1980-an polarisasi sosio-spasial di
negara Afrika Selatan sebagai sarana untuk mendapatkan kontrol atas gerakan
antiapartheid. Kekuatan pasar pada 1980-an yang kemudian juga menyebabkan
penurunan permintaan pekerjaan yang mengakibatkan penurunan upah, berbeda
dengan gerakan masyarakat Afrika semiskilled dan terampil pekerjaan. Hal ini
menyebabkan semakin terlihat adanya kesenjangan sosial karena diskriminasi ras.
Pengertian tentang ras dan kelas berbeda telah diterapkan oleh negara-negara
Afrika Selatan dan Brazil untuk membuat perbedaan dalam strategi dan
interpretasi antara kedua.
Di Brazil ada kesadaran intelektual
bahwa penyebab utama kekurangan dan pemiskinan adalah eksploitasi kelas
pekerja, kurang efisien dan terjangkaunya transportasi, dan kelalaian dalam
penyediaan perumahan. Hal ini mengakibatkan adanya ketergantungan terhadap
sumber daya dalam memperoleh lahan untuk perumahan. Di Afrika Selatan, adanya
analisis kritis dan sensitif terhadap pertanyaan-pertanyaan mengenai ras,
etnis, dan identitas yang menimbulkan situasi Afrika Selatan yang kurang
kondusif.
Favelas di brazil dan pemukiman
informal di afrika selatan yang dihasilkan melalui proses pembangunan yang
tidak merata pada abad 20. Permukiman Informal terbentuk secara berbeda di
kedua negara. Intervensi kebijakan kedua negara sejak tahun 1970an sudah setengah
menyimpang di Brazil, desentralisasi kekuasaan kepada pemerintah daerah menyebabkan
eksplorasi pendekatan demokrasi. Persaingan politik yang ketat di tingkat
lokal, dalam konteks sumber daya yang terbatas, memerlukan konsentrasi
berkelanjutan dan praktek perlindungan politik. Tantangan di Brazil adalah menentukan
nasib demokrasi partisipatoris terhadap pembangunan oleh gerakan-gerakan sosial
yang independen serta dilengkapi dengan permintaan untuk peningkatan efisiensi
dan demokratisasi struktur nasional, terutama yang berhubungan dengan keuangan
dan hukum di tingkat lokal. Di Afrika Selatan, tantangan saat ini pemukiman informal
dipahami secara umum sebagai kebutuhan untuk memberikan jumlah unit perumahan
standar secara nasional melalui sistem perumahan subsidi, yang terinspirasi
oleh permintaan Urban Foundation. Meskipun memudarnya komitmen untuk penyerahan
tersebut oleh pemerintah nasional (tercermin dalam pemotongan anggaran
perumahan), hak ini terus untuk mencegah gerakan rakyat dan para profesional dengan
mengeksplorasi responsif bentuk intervensi informal
settlement yang akan menampung inisiatif, selfdetermination atau demokrasi partisipatoris di tingkat lokal. Intervensi untuk
mendukung adanya penyelesaian gerakan informal, dan menekan perubahan kebijakan
lain yang mempengaruhi situasi penyelesaian gerakan informal, diantaranya distribusi pendapatan. Interpretasi
lain melihat fenomena informal pemukiman tak terkendali sebagai ancaman
terhadap keamanan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat formal, terutama
kelas menengah (posisi unsur-unsur konservatif dari masyarakat Brasil dan
Afrika Selatan). Intervensinya berupa penggusuran dan relokasi ke daerah
periphery
Kesimpulan
Terdapat
interpretasi yang berbeda mengenai pengklasifikasian golongan masyarakat di
Brazil dan di Afrika Selatan. Hal ini mengakibatkan perbedaan dalam penerapan
intervensi terhadap sektor permukiman informal yang muncul akibat
ketidaksediaan Pemerintah dalam menyuplai kebutuhan perumahan sebagai kebutuhan
dasar kehidupan. Terdapat banyak gerakan yang berusaha tetap mempertahankan permukiman
informal karena anggapan bahwa adanya permukiman informal merupakan jawaban
terhadap kebutuhan manusia. Selain itu juga,
permukiman informal muncul sebagai bentuk ketidaksiapan sistem politik ekonomi
yang berlaku dalam membantu menyediakan kemudahan akses ke perumahan.
Pemerintah
Brazil dan Afrika Selatan berupaya mempermudah akses masyarakat dengan
menyediakan program subsidi perumahan dan menyediakan perumahan sewa untuk
golongan ekonomi menengah ke bawah. Sehingga diharapkan munculnya permukiman
informal khususnya di daerah periphery sebagai
akibat berlebihan dari migrasi masyarakat desa ke kota dapat berkurang
dengan adanya program dari Pemerintah.
mba punya video dokumenter tentang favelas gak?
ReplyDeleteMaaf Mas Aljunaid Bakari, saya ga punya video dokumenter tentang favelas,
ReplyDeletembak, bisa tolong disebutkan sumbernya?
ReplyDelete