“Na!!” Panggil
kakakku membuyarkan lamunanku.
“Apa sih kak? Ngagetin aja!” Celetukku.
“Kamu dicari-cari
dari tadi juga. Ternyata nyempil gini di belakang.”
“Emang ada apa kak?”
“Itu lho....”
Kemudian kakakku membisikkan sesuatu padaku. Aku pun membelalakkan mata
mendengar perkataan kakakku.
“Kakak suka dia?”
Tanyaku pelan.
“Iya Na....” Setelah
itu kakakku berlalu meninggalkanku dengan sejuta pertanyaan dalam benakku. Kenapa dia......
***
Malam ini aku tak
bisa memejamkan mata. Sudah kupaksa agar aku bisa tertidur tapi itu sia-sia. Di
telingaku terngiang ucapan kakakku. Mengapa aku tak bisa menerima pengakuan
kakakku.
Aku, Naia Melody
Nirmala Pradipta, sekarang
kelas dua belas di salah satu SMA favorit di ibu kota. Seorang anak yang pendiam dan lebih cenderung
introvet. Aku menghabiskan waktu luangku untuk berdiam diri. Sulit bagiku
berbaur dengan teman-teman sebayaku, terlebih sejak ayah dan bundaku memutuskan
untuk berpisah lebih dari setahun lalu, aku semakin menutup diri dari
lingkungan. Aku hanya bisa dekat dengan kakakku satu-satunya, Andika Neo
Revanka Pradipta, karena dia yang mampu mengerti aku,
menurutku sih begitu.
Perpisahan ayah dan
bunda membuat aku jatuh dan merasa bahwa aku bukan siapa-siapa dan tak pantas
bergaul dengan orang lain. Betapa aku sangat iri melihat teman-teman sebayaku
begitu membanggakan keharmonisan keluarga mereka. Perselingkuhan yang bunda
lakukan sudah tak bisa ditolerir lagi. Selama dua tahun terakhir, ayah dan
bunda sering bertengkar. Tak jelas masalah apa tapi ujung-ujungnya mereka
bertengkar. Yang paling tak bisa kuterima adalah perkataan ayah yang ingin
menceraikan bunda. Oh,, Tuhan kenapa hal
ini terjadi padaku, keluargaku..?
Pagi ini, aku tak keluar kamar karena aku masih merasakan
suasana baru, wajar saja kemarin aku ganti wallpaper kamarku, sekarang aku sibuk
berkutat pada notebookku. “Mumpung
hari Minggu” ucapku pelan. TV kubiarkan menyala begitu saja sejak satu jam yang
lalu. Aku asyik dengan teman dunia mayaku, Nurma Ismaya, begitu namanya, seusia
denganku, bahkan kami berdua pun duduk di bangku SMA kelas dua belas. Kami
mulai akrab lewat dunia maya saat dia membaca isi blogku. Yah, walaupun aku
introvert tetapi aku dapat dikatakan sebagai gadis yang pandai,, hmmm, oke aku
akui, aku bodoh dalam hal bergaul, tapi nilai-nilai sekolahku selalu masuk lima
besar nilai yang tertinggi. Tak jarang aku menuangkan kepandaianku menguasai
materi pelajaran dalam blog pribadiku.
Nurma dan aku memiliki kesamaan lain, kami sama-sama tidak
mempunyai keluarga yang utuh. Nurma kehilangan ayah saat dia masih berumur
tujuh tahun. Dia baru mengetahui sebuah kenyataan setelah menginjak usia lima
belas tahun, awal dia masuk bangku SMA. Kenyataan yang sungguh perih, bahwa
ayah yang selama ini dia kenal bukanlah ayah kandungnya, Nurma bahkan tidak
pernah mengenal seperti apa sosok ayah kandungnya. Ibunya hamil di luar nikah
dengan sang pacar. Tapi, setelah Ibu Nurma hamil, beliau ditelantarkan begitu
saja. ‘PUTUS’. Kata yang sangat mudah diucapkan ayah biologis Nurma pada wanita
yang telah dia renggut kesuciannya. Dan setelah itu pria yang menghamili Ibu
Numa menghilang begitu saja. Menyakitkan memang, tapi beruntung, Ibu Nurma
tidak mengambil jalan untuk mengakhiri hidupnya karena tak mau membuat dosa
besar untuk kedua kalinya.
Yahh, ternyata dunia ini tak selamanya indah, bagiku berteman
dengan Nurma adalah anugerah Tuhan, Tuhan memberikanku seorang teman yang juga
mempunyai tekanan dan konflik batin. Terkadang aku merasa bahwa aku adalah
seseorang yang paling menderita, ternyata, aku punya kehidupan yang lebih
beruntung dari beberapa orang di dunia ini. Nurma contohnya, dia harus hidup
dengan tak mempedulikan tatapan sebelah mata orang-orang di sekitarnya. Pulang
sekolah harus bekerja paruh waktu demi membantu keluarganya yang beberapa tahun
ini mengalami krisis ekonomi sejak ayah tirinya difitnah telah menggelapkan
uang perusahaan sehingga kata “PECAT” seolah dianggap sebagai kata yang pantas
disandang ayah tiri Nurma. Aku masih lebih beruntung karena aku punya ayah dan
bunda yang masih menyayangiku. Punya kakak yang sangup melindungiku. Materi
yang berlimpah. Tuhan ternyata masih berbelas kasih kepada hamba-Nya ini yang
sering lupa bersyukur.
Kulirik jam dinding kamarku, “Sudah jam sebelas.” Ucapku dalam
hati. Ternyata dua jam menghadap notebook membuat leherku terasa pegal. Ku
akhiri koneksi internet dan menshut-down
notebook warna putihku. Aku juga mematikan televisi seraya berjalan keluar
kamar.
“Rumah kok sepi.” Bisikku pelan. Kuberjalan ke depan rumah, aku
lihat bundaku sedang bermesraan dengan atasannya di kantor. Dia adalah orang
yang membuat aku harus merasakan kehidupan seperti ini. Tidak mempunyai
KELUARGA YANG UTUH. Sungguh miris.
Aku akhirnya menuju garasi, mengeluarkan mobilku dan pergi
berlalu tanpa permisi dengan bundaku. Betapa kaget bundaku melihatku berlalu
begitu saja, kudengar sayup-sayup suara bunda makin memelan meneriakkan namaku
dan akhirnya hilang tak kudengar lagi setelah aku benar-benar keluar dari
rumahku. Aku tak tau mau kemana, yang penting aku tak melihat orang yang paling
kubenci, orang yang telah membuat bundaku menghilangkan rasa cintanya pada
ayahku. Kalau saja tak ada hukum dan dosa, mungkin... Argh, untuk apa aku
terlalu memikirkan ini.
Akhirnya mobilku berhenti di sebuah café yang cukup terkenal di
kalangan sebayaku. Banyak orang yang sebayaku dengan pacarnya masing-masing
membuatku terkadang muak melihat pemandangan seperti ini. Gadis sebayaku yang
sudah duduk di bangku SMA biasanya sudah mempunyai pacar. Tak heran teman-teman
sekolahku bangga memamerkan pacarnya dan menurutku terkesan berlebihan. Aku tak
tau kenapa sepertinya hanya aku yang tidak mempunyai pacar. Aku tak peduli,
sepertinya perasaan cintaku hilang seiring dengan hancurnya keluargaku.
Terlebih Zeus, typical cowo yang
kusukai ternyata berubah 180 derajat. Zeus yang sekarang
berbeda dengan Zeus yang aku kenal dulu.
Abadi Zeus Gautama, teman sekelasku dari SD. Dia pindah ke
sekolahku sewaktu kelas IV SD. Anak pindahan dari Belanda, anak yang terkenal
baik dan tidak sombong. Akan tetapi, tak tahu kenapa sejak masuk SMA dia
menjadi cowo yang angkuh, sombong dan semena-mena terhadap cewe. Sudah beberapa kali dia mencampakkan
cewe. Meskipun begitu, aku heran, masih saja banyak yang menyukainya. Aku tak tahu kenapa. Zeus yang sekarang sangat angkuh dan sombong. Aku ulangi
sekali lagi, angkuh dan sombong. Bahkan
dia tak mau lagi mengenalku karena aku bukan cewe yang eksis di sekolah.
Aku memesan Strawberry Float. Minuman yang tidak asing bagi
lidahku. Kuminum sambil memperhatikan sekelilingku. Café yang letaknya
strategis ini membuatku bisa menikmati pemandangan jalan. Tatapan mataku
menyapu sepanjang jalan dan............ Aku terpaku. Kaget. “Kak Dika dan Imel?
Sedang apa mereka berdua?”.
Aku mengawasi setiap gerak-gerik mereka dari dalam café. Kakakku
sedang berduaan dengan Imel, wanita yang dia sebut sebagai wanita yang dia
cintai. Aku tau siapa Imel, jelas. Imel adalah teman SMA-ku.. Atau pantaskah
aku menyebut dia sebagai teman? Di sekolahpun dia dan aku tidak pernah bertegur
sapa. Bahkan Imel menatapku pun sepertinya enggan. Yahh, wajar saja sih, kalau
dipikir-pikir siapa aku sampai seorang Imel Fianerra Subekti, cewek cantik,
tinggi, aktif dalam OSIS, dan pandai bergaul dengan siapa saja bahkan sampai
ada yang mengaguminya hingga menyebutnya sebagai cewek yang semutpun jadi
temannya. Imel memang cewek yang baik, tetapi tak tau mengapa aku kurang bisa
menerima kalau kakakku jatuh hati padanya.
“Oh Tuhan.. sudah lama aku tak pernah melihat kakakku
tertawa selepas itu..” Bisikku perlahan. Tawa yang terenggut sejak bunda
memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya dengan ayah. “Jahatnya aku.. Kalau
tidak merestui kebahagiaan kakakku…”
Aku pun memutuskan untuk meninggalkan café itu tanpa ingin
kembali terjauh dalam rasa tak inginku membiarkan kakakku terlalu jauh dalam
perasaannya pada Imel. “Kak Dika pantas
bahagia….” Dalam hatiku memutuskan untuk membiarkan kakakku bahagia.
Kupacu mobilku dengan
kencang dan meninggalkan cafe itu. Aku tak tau kemana harus kulajukan mobil
ini. Tidak mungkin kembali ke rumah karena pastinya pria yang sangat kubenci
masih berada di rumah. Jika kuingat kejadian itu, rasanya aku ingin memaki
bundaku. Tapi, aku tak mungkin melakukan itu, karena dia bundaku, dia yang
melahirkan dan membesarkanku, dia yang mengasihiku. Yahh, mungkin aku terlalu
kecil untuk mengerti dan memahami tentang semua ini.
Mobilku melaju
kencang dan aku pun tak tau pasti kemana mobil ini melaju. Hingga akhirnya aku
berhenti karena aku melihat mobil Zeus yang terparkir di bahu jalan sebelah
kiri. Aku pun memarkirkan mobilku agak jauh mobil Zeus karena aku tak mau
dituduh sebagai penguntit. Tak lama kulihat Zeus keluar dari panti asuhan dan
diikuti dua anak laki-laki usia SMP menuju ke arah mobil Zeus. Aku mengamati
setiap gerak-gerik Zeus. Zeus membuka bagasi mobil dan mengeluarkan banyak
kardus makanan berupa mie instan, snack dan beberapa bungkusan besar. Akupun
kaget mengetahui Zeus begitu peduli dengan kehidupan anak panti. Karena terlalu
asyik mengamati Zeus, aku tak menyangka kalau dia melihat mobilku. Zeus pun berjalan
menuju ke arah mobilku. “Haduh, ketauan ni. “ Aku mulai panik karena takut Zeus
akan marah.
Zeus mengetok kaca
mobilku. Aku pun terpaksa harus berani membuka kaca mobil dan ku pasang wajah
sok innocent-ku pada Zeus.
“Kamu mau ikut ke
dalam Na?” tak ku sangka Zeus bertanya dengan lembut.
Akupun dengan agak
kaku dan masih sedikit terkejut mendengar suara khas Zeus yang indah dan kali
ini dia tidak seangkuh yang biasa aku liat di sekolah mengangguk perlahan.
Kubuka pintu mobil dan mengikuti Zeus menuju
ke arah panti. Kulihat Zeus berjalan di depanku. Zeus makin tinggi. Tak kusangka aku hanya setinggi bahunya padahal
tinggiku 165 cm. Berapa ya tinggi Zeus
sekarang. Aku sedikit deg-degan berjalan di belakang Zeus, tak tau mengapa.
Zeus tiba-tiba berhenti
dan melihat ke arahku. Aku kaget dia menarik tanganku dan menggandengku masuk
ke arah panti asuhan. Aku tak menolak gandengan tangan Zeus. Genggaman
tangannya masih terasa sama seperti dulu Zeus yang aku kenal.
“Kakak Zeus, kakak
ini siapa?” tanya anak perempuan kecil yang berdiri di depan pintu menyambut
kami berdua. Kira-kira usianya 10 tahun. Semua penghuni panti yang masih sibuk
membereskan barang-barang yang tadi diturunkan dari mobil Zeus pun serentak
menoleh ke arah kami berdua dan salah satu dari mereka berkata “Kak Zeus
sebentar ya.. kami masih membereskan ini” Zeus mengangguk.
“Kenalin
sayang, ini kak Naia..” jawab Zeus
singkat sambil tersenyum ke arah anak kecil itu.
Aku begitu luluh
melihat senyum tulus Zeus. Sudah berapa
lama aku tak melihat senyum tulus ini. Aku pun tersenyum ke arah anak
perempuan kecil itu. Anak perempuan kecil itu mengulurkan tangannya dan aku pun
membalas uluran tangannya. “Naia..” jawabku pelan
“Aku Amanda kak..
Kak Na pacar kak Zeus ya..?” tanya anak kecil itu dengan polos. Aku dengan
gugup berkata, “Bbu bukan sayang bukan..”
“Kok gandengan
terus?”
Aku dan Zeus kaget
mendengar perkataan Amanda karena kami berdua memang sama-sama tidak sadar
kalau masih bergandengan tangan. Aku menatap Zeus dan kulihat mukanya memerah.
Diapun perlahan melepaskan genggaman tangannya “ Maaf ya Na...” ucap Zeus
sambil berlalu menuju ke arah penghuni panti yang masih membereskan
barang-barang yang dibawa Zeus. Tatapan mataku masih saja tetap mengikuti Zeus.
“Kak Zeus banyak
sekali buku-bukunya.” Ucap anak laki-laki berkaos merah.
“Biar Handi rajin
belajar kaya kamu Iras. Liat nilai rapor Handi kemarin kan rangkingnya turun.”
Aku bisa menebak
mana yang bernama Handi, anak lali-laki yang berkaos hijau tua. Soalnya dia
tersipu malu mendengar ucapan Zeus.
“Kak Na mau duduk?”
tanya Amanda sambil menarik lenganku menuju ke arah tempat duduk di ruang tamu.
Aku yang sedari tadi memperhatikan Zeus kaget dan akhirnya mengikuti kemana
Amanda menarik lenganku. Dia membawaku ke sebuah sofa yang terlihat agak lusuh.
Aku pun duduk dan melihat sekeliling ruangan. Langit-langit yang tidak lagi
berwarna putih, dinding yang catnya sudah mengelupas. “Kakak kok diam?” Amanda
membunyarkan pikiranku tentang panti ini. Akupun memberanikan diri bertanya
lebih jauh pada anak perempuan kecil yang duduk di depanku. Kulihat dia nampak
lebih dewasa dibandingkan usianya.
“Amanda umurnya
berapa sayang?”
“Sepuluh tahun kak.”
Sesuai tebakanku.
“Kelas berapa
sekarang?”
“5 SD kak.. Kakak
pacarnya kak Zeus ya?”
“Bukan sayang, kakak
teman SMA kak Zeus.”
“Kalau bukan, kenapa
ada foto kakak di dompet kak Zeus. Kemarin Amanda, Kak Hendi, Kak Iras, Kak
Dewi, Kak Norman diajak ke rumah Kak Zeus juga ada foto kakak.. Gedeeee banget
di dinding kamar kak Zeus.”
Aku sungguh kaget
mendengar ucapan anak kecil di depanku. Hingga akupun terdiam.
“Kakak... Kakak ayo
Amanda kenalin sama kakak yang lain.” Amanda menarik tanganku membawaku menuju
ke arah Zeus.
“Kak Zeus kok ga
ngenalin ceweknya ke kita-kita?” Iras meledek setelah melihatku berdiri di
dekatnya.
“Apaan kau Ras!”
Tolak Zeus “ Anak kecil.”
“Hahahaha..” Iras
dan Hendi tertawa bersama.
“Kak Dewi, Kak
Norman sini deh..” Teriak Hendi.. “ Ada pacarnya kak Zeus main kesini.” Sambil
berlari. Iras menyusul di belakangnya
“Heh kalian berdua.”
Zeus mengejar mereka berdua.
Aku senang sekali
melihat Zeus begitu tertawa lepas. Zeusku
dulu. Ups, Zeusku.. Hihi. Aku
tersenyum sendiri.
“Yeee kak Zeus ge
er. Orang Kak Dewi sama Kak Norman lagi ke pasar beli sayur..” Iras berteriak.
Akhirnya Zeus tertawa.
***
Arah jalan pulang
terasa lebih lama saat aku mengingat kejadian yang baru saja kualami. Tak
terasa aku tersenyum saat suara Zeus kembali terdengar. “Hati-hati di jalan ya
Na..” saat mengantarkanku ke tempat mobilku parkir. Senyumnya terasa begitu
hangat.
Aku semakin
menyadari bahwa aku memang belum bisa menggantikan perasaan cintaku pada Zeus
meskipun akhir-akhir ini dia bersikap angkuh dan tidak mau mengenalku di
sekolah. Tapi, sikapnya tadi berbanding terbalik dari sikapnya di sekolah.
Terlebih saat aku tau bahwa dia menyimpan fotoku di dompetnya dan memajang
fotoku di kamarnya. Apa maksud Zeus ya..
Tak terasa aku sudah
masuk ke pelataran rumahku. Saat kuparkir mobilku di garasi dan kulihat jam
tanganku waktu menunjukkan jam 8 malam. Aku bergegas menuju ke kamarku.
“Na.. darimana kamu
sayang?” Suara mamaku sambil menghampiriku ke arah tangga.
Meskipun aku masih
enggan berbicara dengan mamaku tapi aku masih menghormatinya. “ Na main mah..”
jawabku singkat.
“Kemana?” Suara mama
terdengar khawatir.
“Mah,, Na capek, mau
mandi dulu.” Jawabku
“Kamu udah makan
sayang?” Aku tau mama kecewa karena aku tak menjawab pertanyaannya tapi mama
enggan memarahiku. Mungkin mama takut aku memberontak terlalu jauh.
Aku menggeleng.”
Mah, Na ke kamar dulu ya..”
“Mandi pake air
hangat ya.. Udah malam biar ga sakit. Habis itu turun, makan. Tadi Kak Dika
mama suruh mencari kamu.”
Aku tak jadi naik,
aku menuruni tangga dan duduk di dekat mama. “Kak Dika udah pulang?”
“Belum.” Mama
menengok ke arahku dan membelai rambutku. “Sayang, udah malam mandi dulu. Nanti
mama telpon kakakmu..” Mengambil handphone
di kantong bajunya. Mama melihatku lagi, “Mama udah masakin makanan kesukaanmu,
kakap saus mangga.”
“Iya mah, Na naik
dulu ya..” Aku berdiri dari posisi dudukku dan berlalu meninggalkan mamaku yang
sedang berusaha menghubungi Kak Dika. Dari atas tangga aku melirik Mama. Tak
terasa air mataku menetes. Tuhan, saving
me and my familiy wherever and whenever.
***
Oviazahro, 23 Juni 2012