Saturday, May 4, 2013

Cerpen : Na


“Na!!” Panggil kakakku membuyarkan lamunanku.
“Apa sih kak? Ngagetin aja!” Celetukku.
“Kamu dicari-cari dari tadi juga. Ternyata nyempil gini di belakang.”
“Emang ada apa kak?”
“Itu lho....” Kemudian kakakku membisikkan sesuatu padaku. Aku pun membelalakkan mata mendengar perkataan kakakku.
“Kakak suka dia?” Tanyaku pelan.
“Iya Na....” Setelah itu kakakku berlalu meninggalkanku dengan sejuta pertanyaan dalam benakku. Kenapa dia......
***
Malam ini aku tak bisa memejamkan mata. Sudah kupaksa agar aku bisa tertidur tapi itu sia-sia. Di telingaku terngiang ucapan kakakku. Mengapa aku tak bisa menerima pengakuan kakakku.
Aku, Naia Melody Nirmala Pradipta, sekarang kelas dua belas di salah satu SMA favorit di ibu kota. Seorang anak yang pendiam dan lebih cenderung introvet. Aku menghabiskan waktu luangku untuk berdiam diri. Sulit bagiku berbaur dengan teman-teman sebayaku, terlebih sejak ayah dan bundaku memutuskan untuk berpisah lebih dari setahun lalu, aku semakin menutup diri dari lingkungan. Aku hanya bisa dekat dengan kakakku satu-satunya, Andika Neo Revanka Pradipta, karena dia yang mampu mengerti aku, menurutku sih begitu.
Perpisahan ayah dan bunda membuat aku jatuh dan merasa bahwa aku bukan siapa-siapa dan tak pantas bergaul dengan orang lain. Betapa aku sangat iri melihat teman-teman sebayaku begitu membanggakan keharmonisan keluarga mereka. Perselingkuhan yang bunda lakukan sudah tak bisa ditolerir lagi. Selama dua tahun terakhir, ayah dan bunda sering bertengkar. Tak jelas masalah apa tapi ujung-ujungnya mereka bertengkar. Yang paling tak bisa kuterima adalah perkataan ayah yang ingin menceraikan bunda. Oh,, Tuhan kenapa hal ini terjadi padaku, keluargaku..?
Pagi ini, aku tak keluar kamar karena aku masih merasakan suasana baru, wajar saja kemarin aku ganti wallpaper kamarku, sekarang aku sibuk berkutat pada notebookku. “Mumpung hari Minggu” ucapku pelan. TV kubiarkan menyala begitu saja sejak satu jam yang lalu. Aku asyik dengan teman dunia mayaku, Nurma Ismaya, begitu namanya, seusia denganku, bahkan kami berdua pun duduk di bangku SMA kelas dua belas. Kami mulai akrab lewat dunia maya saat dia membaca isi blogku. Yah, walaupun aku introvert tetapi aku dapat dikatakan sebagai gadis yang pandai,, hmmm, oke aku akui, aku bodoh dalam hal bergaul, tapi nilai-nilai sekolahku selalu masuk lima besar nilai yang tertinggi. Tak jarang aku menuangkan kepandaianku menguasai materi pelajaran dalam blog pribadiku.
Nurma dan aku memiliki kesamaan lain, kami sama-sama tidak mempunyai keluarga yang utuh. Nurma kehilangan ayah saat dia masih berumur tujuh tahun. Dia baru mengetahui sebuah kenyataan setelah menginjak usia lima belas tahun, awal dia masuk bangku SMA. Kenyataan yang sungguh perih, bahwa ayah yang selama ini dia kenal bukanlah ayah kandungnya, Nurma bahkan tidak pernah mengenal seperti apa sosok ayah kandungnya. Ibunya hamil di luar nikah dengan sang pacar. Tapi, setelah Ibu Nurma hamil, beliau ditelantarkan begitu saja. ‘PUTUS’. Kata yang sangat mudah diucapkan ayah biologis Nurma pada wanita yang telah dia renggut kesuciannya. Dan setelah itu pria yang menghamili Ibu Numa menghilang begitu saja. Menyakitkan memang, tapi beruntung, Ibu Nurma tidak mengambil jalan untuk mengakhiri hidupnya karena tak mau membuat dosa besar untuk kedua kalinya.
Yahh, ternyata dunia ini tak selamanya indah, bagiku berteman dengan Nurma adalah anugerah Tuhan, Tuhan memberikanku seorang teman yang juga mempunyai tekanan dan konflik batin. Terkadang aku merasa bahwa aku adalah seseorang yang paling menderita, ternyata, aku punya kehidupan yang lebih beruntung dari beberapa orang di dunia ini. Nurma contohnya, dia harus hidup dengan tak mempedulikan tatapan sebelah mata orang-orang di sekitarnya. Pulang sekolah harus bekerja paruh waktu demi membantu keluarganya yang beberapa tahun ini mengalami krisis ekonomi sejak ayah tirinya difitnah telah menggelapkan uang perusahaan sehingga kata “PECAT” seolah dianggap sebagai kata yang pantas disandang ayah tiri Nurma. Aku masih lebih beruntung karena aku punya ayah dan bunda yang masih menyayangiku. Punya kakak yang sangup melindungiku. Materi yang berlimpah. Tuhan ternyata masih berbelas kasih kepada hamba-Nya ini yang sering lupa bersyukur.
Kulirik jam dinding kamarku, “Sudah jam sebelas.” Ucapku dalam hati. Ternyata dua jam menghadap notebook membuat leherku terasa pegal. Ku akhiri koneksi internet dan menshut-down notebook warna putihku. Aku juga mematikan televisi seraya berjalan keluar kamar.
“Rumah kok sepi.” Bisikku pelan. Kuberjalan ke depan rumah, aku lihat bundaku sedang bermesraan dengan atasannya di kantor. Dia adalah orang yang membuat aku harus merasakan kehidupan seperti ini. Tidak mempunyai KELUARGA YANG UTUH. Sungguh miris.
Aku akhirnya menuju garasi, mengeluarkan mobilku dan pergi berlalu tanpa permisi dengan bundaku. Betapa kaget bundaku melihatku berlalu begitu saja, kudengar sayup-sayup suara bunda makin memelan meneriakkan namaku dan akhirnya hilang tak kudengar lagi setelah aku benar-benar keluar dari rumahku. Aku tak tau mau kemana, yang penting aku tak melihat orang yang paling kubenci, orang yang telah membuat bundaku menghilangkan rasa cintanya pada ayahku. Kalau saja tak ada hukum dan dosa, mungkin... Argh, untuk apa aku terlalu memikirkan ini.
Akhirnya mobilku berhenti di sebuah café yang cukup terkenal di kalangan sebayaku. Banyak orang yang sebayaku dengan pacarnya masing-masing membuatku terkadang muak melihat pemandangan seperti ini. Gadis sebayaku yang sudah duduk di bangku SMA biasanya sudah mempunyai pacar. Tak heran teman-teman sekolahku bangga memamerkan pacarnya dan menurutku terkesan berlebihan. Aku tak tau kenapa sepertinya hanya aku yang tidak mempunyai pacar. Aku tak peduli, sepertinya perasaan cintaku hilang seiring dengan hancurnya keluargaku. Terlebih Zeus, typical cowo yang kusukai ternyata berubah 180 derajat. Zeus yang sekarang berbeda dengan Zeus yang aku kenal dulu.
Abadi Zeus Gautama, teman sekelasku dari SD. Dia pindah ke sekolahku sewaktu kelas IV SD. Anak pindahan dari Belanda, anak yang terkenal baik dan tidak sombong. Akan tetapi, tak tahu kenapa sejak masuk SMA dia menjadi cowo yang angkuh, sombong dan semena-mena terhadap cewe. Sudah beberapa kali dia mencampakkan cewe. Meskipun begitu, aku heran, masih saja banyak yang menyukainya. Aku tak tahu kenapa. Zeus yang sekarang sangat angkuh dan sombong. Aku ulangi sekali lagi, angkuh dan sombong. Bahkan dia tak mau lagi mengenalku karena aku bukan cewe yang eksis di sekolah.
Aku memesan Strawberry Float. Minuman yang tidak asing bagi lidahku. Kuminum sambil memperhatikan sekelilingku. Café yang letaknya strategis ini membuatku bisa menikmati pemandangan jalan. Tatapan mataku menyapu sepanjang jalan dan............ Aku terpaku. Kaget. “Kak Dika dan Imel? Sedang apa mereka berdua?”.
Aku mengawasi setiap gerak-gerik mereka dari dalam café. Kakakku sedang berduaan dengan Imel, wanita yang dia sebut sebagai wanita yang dia cintai. Aku tau siapa Imel, jelas. Imel adalah teman SMA-ku.. Atau pantaskah aku menyebut dia sebagai teman? Di sekolahpun dia dan aku tidak pernah bertegur sapa. Bahkan Imel menatapku pun sepertinya enggan. Yahh, wajar saja sih, kalau dipikir-pikir siapa aku sampai seorang Imel Fianerra Subekti, cewek cantik, tinggi, aktif dalam OSIS, dan pandai bergaul dengan siapa saja bahkan sampai ada yang mengaguminya hingga menyebutnya sebagai cewek yang semutpun jadi temannya. Imel memang cewek yang baik, tetapi tak tau mengapa aku kurang bisa menerima kalau kakakku jatuh hati padanya.
“Oh Tuhan.. sudah lama aku tak pernah melihat kakakku tertawa selepas itu..” Bisikku perlahan. Tawa yang terenggut sejak bunda memutuskan untuk mengakhiri pernikahannya dengan ayah. “Jahatnya aku.. Kalau tidak merestui kebahagiaan kakakku…”
Aku pun memutuskan untuk meninggalkan café itu tanpa ingin kembali terjauh dalam rasa tak inginku membiarkan kakakku terlalu jauh dalam perasaannya pada Imel. “Kak Dika pantas bahagia….” Dalam hatiku memutuskan untuk membiarkan kakakku bahagia.
 Kupacu mobilku dengan kencang dan meninggalkan cafe itu. Aku tak tau kemana harus kulajukan mobil ini. Tidak mungkin kembali ke rumah karena pastinya pria yang sangat kubenci masih berada di rumah. Jika kuingat kejadian itu, rasanya aku ingin memaki bundaku. Tapi, aku tak mungkin melakukan itu, karena dia bundaku, dia yang melahirkan dan membesarkanku, dia yang mengasihiku. Yahh, mungkin aku terlalu kecil untuk mengerti dan memahami tentang semua ini.
Mobilku melaju kencang dan aku pun tak tau pasti kemana mobil ini melaju. Hingga akhirnya aku berhenti karena aku melihat mobil Zeus yang terparkir di bahu jalan sebelah kiri. Aku pun memarkirkan mobilku agak jauh mobil Zeus karena aku tak mau dituduh sebagai penguntit. Tak lama kulihat Zeus keluar dari panti asuhan dan diikuti dua anak laki-laki usia SMP menuju ke arah mobil Zeus. Aku mengamati setiap gerak-gerik Zeus. Zeus membuka bagasi mobil dan mengeluarkan banyak kardus makanan berupa mie instan, snack dan beberapa bungkusan besar. Akupun kaget mengetahui Zeus begitu peduli dengan kehidupan anak panti. Karena terlalu asyik mengamati Zeus, aku tak menyangka kalau dia melihat mobilku. Zeus pun berjalan menuju ke arah mobilku. “Haduh, ketauan ni. “ Aku mulai panik karena takut Zeus akan marah.
Zeus mengetok kaca mobilku. Aku pun terpaksa harus berani membuka kaca mobil dan ku pasang wajah sok innocent-ku pada Zeus.
“Kamu mau ikut ke dalam Na?” tak ku sangka Zeus bertanya dengan lembut.
Akupun dengan agak kaku dan masih sedikit terkejut mendengar suara khas Zeus yang indah dan kali ini dia tidak seangkuh yang biasa aku liat di sekolah mengangguk perlahan. Kubuka  pintu mobil dan mengikuti Zeus menuju ke arah panti. Kulihat Zeus berjalan di depanku. Zeus makin tinggi. Tak kusangka aku hanya setinggi bahunya padahal tinggiku 165 cm. Berapa ya tinggi Zeus sekarang. Aku sedikit deg-degan berjalan di belakang Zeus, tak tau mengapa.
Zeus tiba-tiba berhenti dan melihat ke arahku. Aku kaget dia menarik tanganku dan menggandengku masuk ke arah panti asuhan. Aku tak menolak gandengan tangan Zeus. Genggaman tangannya masih terasa sama seperti dulu Zeus yang aku kenal.
“Kakak Zeus, kakak ini siapa?” tanya anak perempuan kecil yang berdiri di depan pintu menyambut kami berdua. Kira-kira usianya 10 tahun. Semua penghuni panti yang masih sibuk membereskan barang-barang yang tadi diturunkan dari mobil Zeus pun serentak menoleh ke arah kami berdua dan salah satu dari mereka berkata “Kak Zeus sebentar ya.. kami masih membereskan ini” Zeus mengangguk.
“Kenalin sayang,  ini kak Naia..” jawab Zeus singkat sambil tersenyum ke arah anak kecil itu.
Aku begitu luluh melihat senyum tulus Zeus. Sudah berapa lama aku tak melihat senyum tulus ini. Aku pun tersenyum ke arah anak perempuan kecil itu. Anak perempuan kecil itu mengulurkan tangannya dan aku pun membalas uluran tangannya. “Naia..” jawabku pelan
“Aku Amanda kak.. Kak Na pacar kak Zeus ya..?” tanya anak kecil itu dengan polos. Aku dengan gugup berkata, “Bbu bukan sayang bukan..”
“Kok gandengan terus?”
Aku dan Zeus kaget mendengar perkataan Amanda karena kami berdua memang sama-sama tidak sadar kalau masih bergandengan tangan. Aku menatap Zeus dan kulihat mukanya memerah. Diapun perlahan melepaskan genggaman tangannya “ Maaf ya Na...” ucap Zeus sambil berlalu menuju ke arah penghuni panti yang masih membereskan barang-barang yang dibawa Zeus. Tatapan mataku masih saja tetap mengikuti Zeus.
“Kak Zeus banyak sekali buku-bukunya.” Ucap anak laki-laki berkaos merah.
“Biar Handi rajin belajar kaya kamu Iras. Liat nilai rapor Handi kemarin kan rangkingnya turun.”
Aku bisa menebak mana yang bernama Handi, anak lali-laki yang berkaos hijau tua. Soalnya dia tersipu malu mendengar ucapan Zeus.
“Kak Na mau duduk?” tanya Amanda sambil menarik lenganku menuju ke arah tempat duduk di ruang tamu. Aku yang sedari tadi memperhatikan Zeus kaget dan akhirnya mengikuti kemana Amanda menarik lenganku. Dia membawaku ke sebuah sofa yang terlihat agak lusuh. Aku pun duduk dan melihat sekeliling ruangan. Langit-langit yang tidak lagi berwarna putih, dinding yang catnya sudah mengelupas. “Kakak kok diam?” Amanda membunyarkan pikiranku tentang panti ini. Akupun memberanikan diri bertanya lebih jauh pada anak perempuan kecil yang duduk di depanku. Kulihat dia nampak lebih dewasa dibandingkan usianya.
“Amanda umurnya berapa sayang?”
“Sepuluh tahun kak.” Sesuai tebakanku.
“Kelas berapa sekarang?”
“5 SD kak.. Kakak pacarnya kak Zeus ya?”
“Bukan sayang, kakak teman SMA kak Zeus.”
“Kalau bukan, kenapa ada foto kakak di dompet kak Zeus. Kemarin Amanda, Kak Hendi, Kak Iras, Kak Dewi, Kak Norman diajak ke rumah Kak Zeus juga ada foto kakak.. Gedeeee banget di dinding kamar kak Zeus.”
Aku sungguh kaget mendengar ucapan anak kecil di depanku. Hingga akupun terdiam.
“Kakak... Kakak ayo Amanda kenalin sama kakak yang lain.” Amanda menarik tanganku membawaku menuju ke arah Zeus.
“Kak Zeus kok ga ngenalin ceweknya ke kita-kita?” Iras meledek setelah melihatku berdiri di dekatnya.
“Apaan kau Ras!” Tolak Zeus “ Anak kecil.”
“Hahahaha..” Iras dan Hendi tertawa bersama.
“Kak Dewi, Kak Norman sini deh..” Teriak Hendi.. “ Ada pacarnya kak Zeus main kesini.” Sambil berlari. Iras menyusul di belakangnya
“Heh kalian berdua.” Zeus mengejar mereka berdua.
Aku senang sekali melihat Zeus begitu tertawa lepas. Zeusku dulu. Ups, Zeusku.. Hihi. Aku tersenyum sendiri.
“Yeee kak Zeus ge er. Orang Kak Dewi sama Kak Norman lagi ke pasar beli sayur..” Iras berteriak. Akhirnya Zeus tertawa.
***
Arah jalan pulang terasa lebih lama saat aku mengingat kejadian yang baru saja kualami. Tak terasa aku tersenyum saat suara Zeus kembali terdengar. “Hati-hati di jalan ya Na..” saat mengantarkanku ke tempat mobilku parkir. Senyumnya terasa begitu hangat.
Aku semakin menyadari bahwa aku memang belum bisa menggantikan perasaan cintaku pada Zeus meskipun akhir-akhir ini dia bersikap angkuh dan tidak mau mengenalku di sekolah. Tapi, sikapnya tadi berbanding terbalik dari sikapnya di sekolah. Terlebih saat aku tau bahwa dia menyimpan fotoku di dompetnya dan memajang fotoku di kamarnya. Apa maksud Zeus ya..
Tak terasa aku sudah masuk ke pelataran rumahku. Saat kuparkir mobilku di garasi dan kulihat jam tanganku waktu menunjukkan jam 8 malam. Aku bergegas menuju ke kamarku.
“Na.. darimana kamu sayang?” Suara mamaku sambil menghampiriku ke arah tangga.
Meskipun aku masih enggan berbicara dengan mamaku tapi aku masih menghormatinya. “ Na main mah..” jawabku singkat.
“Kemana?” Suara mama terdengar khawatir.
“Mah,, Na capek, mau mandi dulu.” Jawabku
“Kamu udah makan sayang?” Aku tau mama kecewa karena aku tak menjawab pertanyaannya tapi mama enggan memarahiku. Mungkin mama takut aku memberontak terlalu jauh.
Aku menggeleng.” Mah, Na ke kamar dulu ya..”
“Mandi pake air hangat ya.. Udah malam biar ga sakit. Habis itu turun, makan. Tadi Kak Dika mama suruh mencari kamu.”
Aku tak jadi naik, aku menuruni tangga dan duduk di dekat mama. “Kak Dika udah pulang?”
“Belum.” Mama menengok ke arahku dan membelai rambutku. “Sayang, udah malam mandi dulu. Nanti mama telpon kakakmu..” Mengambil handphone di kantong bajunya. Mama melihatku lagi, “Mama udah masakin makanan kesukaanmu, kakap saus mangga.”
“Iya mah, Na naik dulu ya..” Aku berdiri dari posisi dudukku dan berlalu meninggalkan mamaku yang sedang berusaha menghubungi Kak Dika. Dari atas tangga aku melirik Mama. Tak terasa air mataku menetes. Tuhan, saving me and my familiy wherever and whenever.
***


Oviazahro,  23 Juni 2012

1 comment:

  1. Thanks for reading this.. please leave your comment.. i fell very honored :)

    ReplyDelete