Kota merupakan wadah bagi aktivitas sosial
budaya manusia. Hal ini mengindikasikan bahwa perlu ruang publik sebagai ruang
untuk masyarakat berinteraksi dan berekspresi. Ekspressi tersebut diwujudkan
dalam gambar-gambar yang menyita ruang kosong pada dinding maupun jalan untuk
mengubah ruang sisa tersebut menjadi ruang yang lebih menarik, kreatif serta
dapat menjadi simbolik budaya sebagai ruang yang ramah terhadap seni. Ekspressi
tersebut tertuang menjadi graffiti atau gambar yang biasa dikenal dengan nama street art atau mural (Cronin,2006)
Mural pada awalnya muncul di negara-negara
barat sebagai konsepsi suatu ekspresi masyarakatnya. Mural dianggap sebagai
sebuah bentuk ekspresi dan kecintaan terhadap seni. Banyak mural yang
terpampang di dinding-dinding bangunan, jalan layang, terowongan dan
sebagainya. Dalam perspektif perancangan kota, mural dapat menciptakan kota
yang berwajah indah karena lebih berwarna dengan seni (Viscinti et al, 2010).
Dari sudut pandang psikologi perkotaan, mural dianggap sebagai konsep ketahanan
psikologi dimana mural memiliki keterkaitan terhadap penciptaan ruang yang
mampu mengekspresikan jiwa seni dan dapat menjadi pembentuk ketahanan ekonomi
dan lingkungan karena selain mampu menjadi ruang berekspresi juga dapat
menambah lapangan pekerjaan bagi para artist.
Mural juga dapat menjadi faktor penarik wisatawan untuk menikmati mural
yang terpampang pada dinding bangunan dan jalan seperti di Kanada yang
merupakan mural revitalisasi budaya dan ekonomi (Halim, 2008: 90-91).
Mural adalah bagian dari sistem elemen yang
oleh Cullen, elemen visual perlu mempertimbangkan tiga hal yaitu pandangan,
tempat dan isi. Sehingga mural yang menjadi simbolik budaya pada suatu kota
dapat menjadi urban landscape karena memberikan kesan visual yang menarik dan
kreatif. Namun, seringkali mural tidak sesuai pada penempatannya dan isi dari
ekspresi mural tersebut tidak sesuai dengan etika berekspresi. Hal ini
menyebabkan mural akhirnya dipandang sebagai bentuk pengrusakan fasilitas umum
karena mencorat-coret ruang tanpa mengindahkan jiwa seni, dan lebih cenderung
dipandang negatif karena membuat kotor kota atau bisa dikatakan sebagai polusi
visual (Cudmore, 2012). Selain itu, mural juga dapat menciptakan stres
lingkungan berupa ketakutan di ruang-ruang publik dan bahkan menciptakan
kriminalitas (Rosewarne, 2004).
Dalam kaitannya dengan urban design, mural
yang tidak beretika tersebut akan merusak wajah kota atau yang lebih dikenal
dengan istilah vandalism. Vandalisme merupakan
suatu tindakan merusak keindahan lingkungan apabila penempatan dan muatan yang
terkandung dalam mural tidak mempertimbangkan aspek budaya masyarakatnya dan
tidak mengindahkan etika dalam berekspresi (dilakukan oleh individu dengan
mental kriminal dan kurang menghormati orang lain). Mural dalam definisinya
mengalami pergeseran makna. Mural tidak lagi dianggap sebagi ekspresi seni
masyarakatnya tetapi mural dianggap sebagai sesuatu yang bersifat merusak ruang
publik apabila penempatannya. Mural pada akhirnya menjadi polusi visual yang
menimbulkan dampak lebih lanjut yaitu stres perkotaan. Tidak dapat dipungkiri
bahwa visual menjadi suatu pertimbangkan keindahan kota.
Indonesia juga tidak luput dari merebaknya mural
sebagai wujud ekspresi masyarakatnya. Contohnya saja Kota Jakarta yang banyak
ditemui di kolong jalan layang, dan pada bangunan-bangunan yang oleh Halim
(2008:91) disebutkan bahwa mural tersebut belum berkualitas terhadap seni
karena saling tumpang tindih antara mural yang satu dengan yang lainnya. Kota
Semarang pun mengalami hal yang sama. Mural yang tidak tidak mempertimbangkan
aspek seni akhirnya saling tumpang tinding dengan coretan yang tidak harmoni
dengan mural yang sudah ada atau bentuk vandalisme yang mencorat-coret
fasilitas umum. Lalu, menurut Anda, urban mural itu art atau vandalism dan urban mural yang baik itu seperti apa?
Sumber : www.fatcap.com/graffiti/134346-toma-c-3-paris.html,
2013
Urban Mural di Paris-Perancis yang menarik minat pengguna jalan
Urban Mural di Paris-Perancis yang menarik minat pengguna jalan